Gara-gara CrowdStrike, Microsoft Rombak Keamanan Windows
Hide Ads

Gara-gara CrowdStrike, Microsoft Rombak Keamanan Windows

Anggoro Suryo - detikInet
Kamis, 03 Jul 2025 12:39 WIB
NEW YORK, NY - MAY 2: The Microsoft logo is illuminated on a wall during a Microsoft launch event to introduce the new Microsoft Surface laptop and Windows 10 S operating system, May 2, 2017 in New York City. The Windows 10 S operating system is geared toward the education market and is Microsofts answer to Googles Chrome OS. (Photo by Drew Angerer/Getty Images)
Foto: Drew Angerer/Getty Images
Jakarta -

Microsoft akan merombak sistem keamanan Windows setelah sejumlah perangkat Windows tumbang saat insiden CrowdStrike setahun yang lalu.

Disebut dirombak karena Microsoft mengembangkan sistem keamanan baru di tingkat kernel, yang ada di bagian paling inti dalam sebuah sistem operasi. Perombakan ini dilakukan untuk mencegah terjadinya insiden sejenis CrowdStrike yang sempat membuat kehebohan besar.

Untuk membangun arsitektur kernel yang lebih aman ini Microsoft bekerja sama dengan sejumlah pembuat antivirus dan beberapa perusahaan keamanan siber. Hal ini dilakukan untuk mencegah adanya kode berbahaya masuk ke dalam kernel Windows.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut VP Microsoft David Weston, saat ini mereka tengah bekerja sama dengan CrowdStrike, Bitdefender, ESET, Trend Micro, dan sejumlah perusahaan keamanan besar lain untuk mengembangkan solusi jangka panjang.

Setidaknya ada belasan mitra yang sudah mengirimkan data teknis, beberapa di antaranya hingga ratusan halaman yang berisi berbagai persyaratan yang mau dimasukkan ke dalam platform baru tersebut.

ADVERTISEMENT

"Ini sebenarnya adalah industri yang penuh kompetitor, namun semuanya sudah angkat bicara dan mau membangun platform baru yang bisa dikerjakan oleh semua," ujar Weston, seperti dikutip detikINET dari Techspot, Kamis (3/7/2025).

Pada Juli 2024, CrowdStrike mengungkap lebih banyak informasi tentang update bermasalah yang membuat jutaan perangkat Windows tumbang pekan lalu. Rupanya biang kerok update bermasalah ini adalah software penguji yang tidak berfungsi semestinya.

Kejadian ini banyak dianggap gangguan TI terbesar dalam sejarah yang menyebabkan pembatalan lebih dari 5.000 penerbangan komersial, mengganggu bisnis mulai dari ritel, pengiriman paket, hingga prosedur di rumah sakit. Itu merugikan secara uang, waktu, serta produktivitas staf.

Masalah ini disebabkan oleh update CrowdStrike yang error dan memerlukan waktu berhari-hari sebelum sistem kembali normal. CrowdStrike mengatakan sejumlah besar dari sekitar 8,5 juta perangkat yang terkena dampak telah kembali online.

Para ahli sepakat masih terlalu dini untuk menentukan kerugian gangguan internet global itu. Namun biaya yang harus ditanggung mereka yang terdampak totalnya bisa mencapai USD 1 miliar atau lebih dari Rp 16 triliun, menurut perhitungan Patrick Anderson, CEO Anderson Economic Group.




(asj/fay)