Maraknya kasus penipuan dan peretasan di WhatsApp telah menjadi sorotan Komisi I DPR RI dalam Rapat Dengar Pendapat Umum dengan direksi operator telekomunikasi pada Kamis, 9 November 2023.
Kepala Biro Hukum dan Komunikasi Publik BSSN Brigjen TNI Berty BW Sumakud mengaku prihatin melihat semakin maraknya penipuan dan peretasan di WhatsApp. Dibahasnya isu ini di DPR telah menunjukkan begitu pentingnya permasalahan ini untuk segera ditangani.
"Sangat prihatin tentunya melihat tindak kejahatan ini. Kejadiannya sudah berlangsung lama dan saat ini semakin masif. Ini menandakan ada celah keamanan siber yang serius. Apalagi Komisi I DPR RI sudah membahas hal ini, artinya semua pihak terkait harus mengambil langkah cepat dan taktis," kata Berty dalam keterangan yang diterima detikINET, Selasa (14/11/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pengguna layanan WhatsApp di segmen perusahaan juga tidak lepas dari sorotan. Pelaku kejahatan penipuan dan peretasan di WhatsApp ini menyasar rekening nasabah bank, akun layanan jasa keuangan, serta pelanggan dari enterprise. Tidak sedikit dari perusahaan ini yang menggunakan WhatsApp untuk mengirimkan pesan promosi, notifikasi, dan autentikasi.
"Saya pikir, mengingat perkembangan kondisi ini, sektor perbankan, jasa keuangan, dan enterprise pada umumnya wajib mengutamakan penggunaan SMS untuk promosi, notifikasi, dan autentifikasi," tambahnya.
Di ranah regulasi dan kebijakan, Jenderal Bintang Satu ini menilai perlu adanya pengaturan yang lebih tegas mengenai layanan Over The Top (OTT) seperti WhatsApp. Standar kualitas layanan dan keamanan, penyediaan operation and crisis center, serta kewajiban kerja sama dengan operator telekomunikasi perlu ditegaskan.
Kerja sama dengan operator telekomunikasi dinilai penting karena layanan seperti WhatsApp menggunakan nomor seluler untuk pertama kali mengidentifikasi penggunanya.
"Pengaturan layanan OTT, termasuk standar keamanan, operation and crisis center dan kewajiban kerja sama dengan operator telekomunikasi, sudah sangat mendesak. Pengaturan ini diperlukan untuk mencegah penipuan dan tindak kejahatan seperti yang terjadi di WhatsApp ini," tambah Berty.
Hal ini seolah-olah menjadi paradoks dari apa yang digaungkan selama ini. WhatsApp mengklaim bahwa layanan komunikasi yang mereka sediakan telah menerapkan end- to-end encryption. Ironisnya, dengan maraknya kasus tersebut, WhatsApp terkesan menjadi platform komunikasi yang sangat rentan untuk berbagai tindak penipuan dan kejahatan.
Melihat fenomena tersebut, Berty menilai celah keamanan dari suatu sistem komunikasi bisa berasal dari banyak aspek. Penggunaan end-to-end encryption bisa membantu, namun bukan berarti menyelesaikan semua permasalahan.
Jika diterapkan dengan cara yang tidak tepat dan tanpa dibarengi kerja sama dengan aparat penegak hukum, kementerian, dan/atau lembaga yang berwenang, bukannya melindungi komunikasi masyarakat, tetapi akan menyulitkan pemberantasan aksi.
Pelaku kejahatan dan penipuan di platform tersebut merasa aman karena komunikasi mereka telah terenskripsi secara end-to-end. Aspek teknis lain yang disoroti Berty yaitu aspek penomoran yang digunakan WhatsApp. WhatsApp juga tidak bekerja sama dengan operator telekomunikasi, sehingga nomor yang sudah tidak aktif, masih bisa digunakan di WhatsApp.
"Banyak nomor seluler yang sudah tidak aktif, tapi masih bisa digunakan di WhatsApp. Ini salah satu celah keamanan akibat tidak adanya kerja sama dengan operator telekomunikasi," tutupnya.
(asj/fay)