Marak Penipuan APK Lewat WhatsApp, Regulator Perlu Bertindak
Hide Ads

Marak Penipuan APK Lewat WhatsApp, Regulator Perlu Bertindak

Anggoro Suryo - detikInet
Senin, 06 Nov 2023 09:45 WIB
An unrecognizable woman dressed in a white T-shirt with black stripes texting on her smartphone.
Marak Penipuan APK Lewat WhatsApp, Regulator Perlu Bertindak Foto: iStock
Jakarta -

Trend penipuan dan peretasan menggunakan layanan WhatsApp terus mengalami peningkatan. Kerugian finansial yang dialami per kejadian nilainya mencapai miliaran rupiah.

Sasarannya tak hanya masyarakat umum, namun juga kalangan selebriti. Yang teranyar adalah Baim Wong yang menjadi korban penipuan di WhatsApp.

Modus yang dipergunakan pelaku dengan mengirimkan pesan melalui WhatsApp dengan melampirkan Android Package Kit (APK) file format. Pelaku meminta korbannya untuk mengunduh file APK yang dikirim melalui WhatsApp. Setelah mengklik dan mengunduh file tersebut rekening Baim Wong dikuras oleh pelaku.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dr Ir Agung Harsoyo MSc.,MEng, anggota BRTI periode2015-2018 , prihatin dengan maraknya pelaku tindak pidana penipuan dan peretasan yang menggunakan layanan WhatsApp. Masyarakat memang perlu diminta untuk lebih berhati-hati, namun tindakan substantif tentunya perlu segera dilakukan.

ADVERTISEMENT

Menurut Agung, masih maraknya penipuan dan peretasan melalui WhatsApp dikarenakan aturan layanan over the top (OTT) sebatas UU ITE. Dalam UU ITE para penyelenggara layanan OTT hanya diwajibkan mendaftarkan layanannya.

"Dengan hanya menerapkan kewajiban melapor, tidak ada kewajiban bagi WhatsApp untuk menerapkan aturan Know Your Customer (KYC). Kewajiban KYC di industry telekomunikasi hanya diberlakukan bagi operator telekomunikasi. WhatsApp, Telegram, Facebook dan berbagai layanan OTT yang beroperasi di Indonesia tidak ada kewajiban KYC. Sehingga menurut saya regulasi yang diterapkan pemerintah untuk layanan OTT masih sangat longgar," terang dosen di Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) ITB.

Secara teknis, WhatsApp tidak melekatkan akun penggunanya ke perangkat. Oleh karena itu, satu akun WhatsApp dapat dibuka secara bersamaan di beberapa perangkat. Hal ini menjadi celah bagi pihak yang tidak bertanggung jawab seperti hacker dan para pelaku tindak kejahatan digital untuk membuka akun WhatsApp korban tanpa diketahui.

Saat ini regulasi yang diberlakukan di industri telekomunikasi menggunakan UU no 36/1999 tentang Telekomunikasi. Sedangkan regulasi yang dipergunakan OTT adalah UU 19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Agar dapat menekan pelaku tindak pidana melalui WhatsApp, menurut Agung pemerintah harus membuat aturan yang jelas mengenai kriteria layanan OTT.

Dari sisi penomoran, WhatsApp menggunakan nomor seluler yang dialokasikan oleh Kominfo kepada operator telekomunikasi untuk mengidentifikasi penggunanya. Dalam PP 46/2021 dan PM 5/2021 telah diatur pelaku usaha di internet seperti WhatsApp dalam menyelenggarakan layanannya bekerja sama dengan penyelenggara jaringan telekomunikasi, yaitu operator telekomunikasi.

Menurut Agung, aturan ini dapat dipergunakan untuk menekan maraknya penipuan dan peretasan di WhatsApp. Selama ini operator telekomunikasi sudah memiliki data yang valid mengenai pelanggannya, karena terintegrasi dengan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri.

Namun sangat disayangkan, karena tidak ada kerja sama dengan operator telekomunikasi, WhatsApp tidak terupdate dengan baik terkait pergantian nomor telpon pengguna. Akibatnya, pelaku tindakan kejahatan di WhatsApp menjadi nyaman menjalankan aksinya, karena merasa dapat dengan mudah menghilangkan jejak.

WhatsApp juga memiliki fitur end-to-end encryption yang dicitrakan untuk menjaga kerahasiaan komunikasi pengguna. Pada kenyataannya fitur ini menghalangi aparat penegak hukum untuk melakukan tugasnya, termasuk mengidentifikasi tindak penipuan dan peretasan. Hal ini telah menjadikan WhatsApp sebagai tempat subur untuk tumbuhnya berbagai bentuk tindak kejahatan.

"Memang pipa telekomunikasi yang dikelola WhatsApp dapat menyengsarakan masyarakat. Peretasan dan penipuan melalui WhatsApp ini sudah sangat meresahkan serta banyak memakan korban. Pemerintah seharusnya dapat segera bertindak. Regulator di sektor keuangan misalnya perlu mencegah penggunaan fitur WhatsApp dalam promosi, notifikasi, maupun otentifikasi karena risikonya terlalu tinggi, sembari Kominfo membuat aturan pengawasan terhadap OTT yang lebih ketat," tutup Agung.




(asj/afr)