Data sering disebut sebagai komoditas paling berharga di dunia menggantikan posisi minyak Bumi. Banyak pihak setuju dengan hal ini, namun ada juga yang kurang setuju.
Mereka yang tidak setuju, menyatakan bahwa data sejatinya adalah sampah yang mengganggu dan tidak diperlukan. Kedua pandangan tersebut tidak ada
salahnya dan bisa saja benar, tergantung siapa yang mengelola data tersebut, jenis data apa yang dikelola, dan bagaimana data tersebut dikelola.
Contoh simpel bisa kita lihat dari data LinkedIn yang bocor di tahun 2012, di mana 117 juta data pengguna LinkedIn, termasuk kredensial (username dan password) berhasil diretas dan diperjualbelikan di darkweb.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di tangan orang awam, data ini paling hanya digunakan sebagai sarana untuk mengintip rahasia dari akun yang bocor tersebut atau melakukan posting berpura-pura sebagai pemilik akun tersebut. Bagi sekelompok orang lainnya, bukannya berkah, data pengguna sebanyak 117 juta itu sebaliknya malah bisa menjadi beban dan dianggap sampah karena memang ukurannya akan sangat besar dan tidak sembarang komputer mampu mengelola data tersebut.
Di tangan penipu di Indonesia, data tersebut kemungkinan akan digunakan untuk memalsukan diri sebagai pemilik akun dan meminta uang kepada teman-teman pemilik akun seperti yang banyak terjadi pada peretasan akun Facebook dan WhatsApp.
Jika 117 juta akun tersebut satu persatu digunakan untuk aktivitas penipuan meminta uang dan setiap harinya ada 100 akun dieksploitasi, maka 117 juta akun tersebut baru akan selesai di eksploitasi 1,17 juta hari atau sekitar 3.205 tahun.
Kalau asumsinya setiap keturunan penipu ini panjang umur berumur 100 tahun, kira-kira membutuhkan 32 turunan untuk menyelesaikan eksploitasi database yang bocor tersebut.
Untuk membedakan kualitas eksploitasi mari kita lihat apa yang dilakukan peretas lain yang mendapatkan data 117 juta kredensial LinkedIn ini. (lihat gambar 1)
![]() |
Kalau Vaksincom tidak memberitahukan bahwa email scam yang Anda terima ini adalah hasil eksploitasi database LinkendIn yang bocor, kemungkinan Anda akan dag dig dug khawatir ketika menerima email seperti di atas.
Bagaimana tidak, pengirim email bisa mengetahui dengan persis password akun Anda. Ia mengklaim Anda suka mengakses situs porno dan berhasil
merekam Anda sedang menonton film porno lengkap dengan film porno yang sedang Anda tonton karena berhasil mengaktifkan kamera komputer yang Anda gunakan.
Dana kalau tidak ingin video memalukan tersebut tersebar, maka Anda harus mengirimkan uang ke rekening Bitcoin yang telah diberikan pada email terlampir. Keberhasilan scam ini sangat rendah, namun andaikan 1% saja scam yang disebarkan ini menghasilkan, potensi uang yang didapatkan dari scammer ini masih 1,17 juta X USD 6 ribu atau sekitar USD 7 juta.
Contoh di atas memperlihatkan kalau who atau siapa sangat menentukan dalam pegelolaan data. Di tangan awam, data yang tadinya berisi informasi yang kurang berarti dapat menjadi sumber uang tambahan dengan berpura-pura meminjam uang, memalsukan pemilik akun, atau malah menjadi
tambang emas jika proses ini diotomasi dengan memanfaatkan program otomatis pengirim scam dan sistem keuangan Bitcoin yang sulit di lacak.
Minyak Bumi vs Data
Mirip seperti yang terjadi pada masa awal emas hitam, hanya negara tertentu saja yang menyadari pentingnya minyak dan memiliki kemampuan mengidentifikasi dan eksplorasi sumber minyak dari dalam tanah.
Data sebagai komoditas juga awalnya tidak disadari oleh banyak orang dan hanya kalangan tertentu saja di Silicon Valley yang menyadari adanya komoditas baru ini dan mulai mencari jalan untuk mengeksplorasinya. Dan jenius seperti pemilik Amazon Jeff Bezos, duo Google Larry Page dan Sergey Brin, serta pencipta Facebook Mark Zuckerberg, berhasil mendapatkan resep rahasia dan dengan visi yang tepat, kemampuan menajerial mumpuni dan keahlian mengelola data yang memberikan mereka keuntungan finansial luar biasa dan menjadikan perusahaannya sebagai perusahaan dengan performa terbaik di tahun 2019. (lihat gambar 2)
![]() |
Data sebagai komoditas memiliki sifat yang berbeda dengan minyak Bumi. Minyak Bumi memiliki sifat langka dan tidak dapat diperbarui. Sekali dikonsumsi, maka akan habis dan harus mencari sumber lainnya.
Sedangkan data, memiliki sifat universal dapat diakses atau diciptakan oleh siapa saja dan dapat dipakai berulang-ulang. Perusahaan pengelola data yang tadinya dimonopoli oleh Amerika Serikat perlahan mulai dikejar oleh China dengan beberapa raksasa pengelola data seperti Alibaba, Tencent dan TikTok yang fenomenal dan secara de facto bersaing dengan Instagram dan sempat menjadi sasaran tembak dari Amerika Serikat karena dianggap membahayakan keamanan nasional negara.
Kita sebagai orang Indonesia sebenarnya patut berbangga juga karena Indonesia juga memiliki potensi sumber daya yang besar dan memiliki kemampuan pengelola data dan manajemen yang mumpuni dan diakui setidaknya di Asia Tenggara, terbukti dari banyaknya unicorn yang bisa menjadi tuan di rumah sendiri.
Aplikasi ride-hailing Gojek terbukti dapat bersaing dan menggusur Uber yang notabene menjadi penguasa ride hailing dunia. Demikian juga aplikasi e-commerce Tokopedia yang dirintis oleh dua anak muda Indonesia, berhasil mengembangkan dirinya dan bersaing dengan aplikasi e-commerce asing Lazada yang sempat mendominasi di awal era e-commerce lokal.
Aplikasi Traveloka dan Tiket.com juga berhasil mendominasi di Indonesia, mengubah landscape cara orang mengkonsumsi produk pariwisata, meskipun saat ini tengah mengalami guncangan karena pandemi COVID-19.
*) Alfons Tanujaya adalah ahli keamanan cyber dari Vaksincom. Dia aktif mendedikasikan waktunya memberikan informasi dan edukasi tentang malware dan cyber security bagi komunitas IT Indonesia.
(rns/afr)