Bukan soal cara hukuman ke masyarakat oleh pemimpin yang menarik pada titik ini. Akan tetapi, di mata penulis, jika kita simak bagaimana komunikasi pemerintahan partisipatif dijalankan Kang Emil selama hampir dua tahun pemerintahannya, maka banyak hal yang bisa diadopsi Indonesia.
#NgepelBraga menjadi perhatian nasional karena masih lekat dengan momentum penyelenggaraan Peringatan Konfrensi Asia Afrika ke-60, ketika Kang Emil dalam waktu bersamaan menciptakan impresi dengan merubah wajah pusat Bandung ke citarasa lanskap Eropa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kita bisa simak dalam hal Gerakan Biopori yang dimulai per Oktober 2013, yakni membuat lubang di tanah 30 cm guna mengurangi dampak banjir musiman. Saat itu, lazimnya rerata masyarakat Indonesia yang apatis dengan gerakan lingkungan, masyarakat Bandung tak semua faham, apalagi mendukung.
Namun dengan gaya komunikasi pada akun pribadi media sosialnya, terutama Twitter, benefit praktis dan manfaat jangka panjang Biopori tanpa lelah dikicaukannya. Hal ini ditambah gimmick, seperti hadiah bagi foto menarik bagi follower-nya saat menggali lubang di tanah.
Ditambah kemudian Gerakan Biopori ini berhasil menggandeng banyak sponsor yang menyediakan hadiah, lantas sejumlah pencapaian diraih. Puncaknya, tercipta Rekor MURI pada 29 Desember 2013, ketika dalam lima hari saja, berhasil dibuat sekitar 260.000 lubang biopori di seluruh Kota Bandung.
Respons sama ramainya tercipta ketika dibuat Taman Jomblo, sebutan bagi Taman Cikapayang, yang berada persis di bawah flyover Pasupati. Sebagai ruangan publik yang dulunya kumuh, sejak Februrari 2014 dibuatkan sejumlah tempat duduk kapasitas seorang yang terpisah dan dicat eye catching.
Melalui bahasa ringan, karena duduk sendiri-sendiri tadi, magister tata kota University of California, Berkeley, ini lalu berkicau menawarkan nama Taman Jomblo. Publik sontak tertarik, dengan istilah demikian ngepop dan ringan, otomatis setuju karena pemimpin demikian dekat.
Pola serupa kemudian terlihat saat sosialisasi sejumlah program Pemkot Bandung seperti kehadiran pelbagai taman tematik (Pet Park, Taman Vanda, dst), Bis Damri pelajar gratis Senin-Kamis, Rebo Nyunda, Kamis Inggris, Gerakan Pungut Sampah (GPS), hingga terakhir Relawan KAA ke-60.
Bahkan, alih-alih memutuskan sendiri, virtual community pula yang menjadi penentu sebuah nama ketika ketika Telkomsel memberikan dana CSR bagi bis pariwisata kota tingkat dua, sehingga sayembara akhirnya memunculkan nama Bandros (Bandung Tour on Bus).
Ketika program GPS hendak memunculkan ikon program, sayembara serupa memunculkan nama Hero Bandung. Jadi, rakyat tak hanya menjadi obyek diseminasi program yang digagasnya, namun sekaligus dijunjung dengan menjadi bagian pengambil keputusan.
Seluruhnya ini selain diungkitkan akun @ridwankamil --yang dikelola sendiri, karena saat berkicau dianggapnya sebagai me time, penggugah partisipasi publik ini juga digerakan melalui akun Kang Emil pada Instagram dan ask.fm (juga dikelola sendiri) serta Facebook (dikelola admin).
Tanpa perlu gerakan sosialisasi formal yang diinisiasi Dinas Komunikasi dan Informatika Pemkot Bandung misalnya, sekaligus tanpa ada paksaan, tanpa citra merasa punya jabatan tinggi, apalagi menggunakan pendekatan koersif, partisipasi publik Bandung kini sangat menonjol dari kota lainnya.
Mengapa Terjadi Partisipasi?
Meski bermodal 140 karakter, partisipasi publik tadi muncul setidaknya tiga alasan utama. Pertama, mayoritas pemimpin di Indonesia masih menerapkan sekat birokrasi yang prosedural dan serba resmi, sehingga rakyat berjarak dengan pimpinannya. Kalaupun kemudian dibuka saluran komunikasi, banyak yang sekadar ada karena tuntutan zaman namun hambar relasi tulus di dalamnya.
Hal ini tentu sangat disayangkan. Sebab, komunikasi pemerintahan di Indonesia umumnya sulit terbangun secara massif terkait kondisi Indonesia sebagai negara dengan rentang geografi terbesar di dunia, sehingga komunikasi kerap terkendala limit geografis ini.
Di sisi lain, komunikasi pemerintahan di Indonesia pun masih belum merepresentasikan esensi komunikasi yakni menciptakan kesetaraan pemahaman (communication = communis = to make common) guna menciptakaan kesamaan gerak, sehingga proses interaksi komunikasi masih bersifat permukaan dan belum menghasilkan implikasi konkrit sebagai solusi kehidupan.
Kedua, arti penting ruang cyber belum sepenuhnya dipahami dengan baik para pemimpin publik. Padahal, dari berbagai literatur yang ada, munculnya ruang cyber merupakan lompatan kualitatif setiap orang dalam pencarian, mengakses, memproduksi, dan bereaksi terhadap informasi yang diterima.
Ruang cyber ini juga memperluas akses ke alat komunikasi era digital. Otomatis, ruang baru berbentuk teknologi media cyber ini lebih partisipatif. Sejak proses arus komunikasi di beberapa arah, dan karena peran produsen dan penerima informasi yang telah diacak, dan karena lebih banyak orang yang saat ini mampu membentuk sebuah pesan, maka kita bisa menemukan banyaknya wacana timbal balik dalam budaya masyarakat.
Ruang cyber juga mampu mengungkit atensi media mainstream yakni media massa konvensional (televisi, radio, dan koran). Realitas media konvensional hanya digunakan sebagai medium resmi, semisal pemberitaan dan isu kebijakan yang bersifat formal. Namun tidak demikian dengan media sosial, yang dikemas dalam kedekatan emosional dan lekat dengan bahasa sederhana masyarakat.
Bagaimanapun, tanpa media massa, distribusi pesan saat mengonstruksi realitas sosial via media sosial akan berlangsung lamban, sementara waktu yang ditempuh untuk membangun opini demi terciptanya realitas semakin lama, spasial (terputus-putus), dan hierarkis-vertikal (terstruktur).
Ketiga, era politik masyarakat Indonesia telah berubah tajam pasca era reformasi. Yakni asas keterbukaan menjadi salah satu syarat minimum dari demokrasi --mengutip pendapat S.W. Couwenberg dan Sri Soemantri Mertosoewignjo.
Dua dari lima asas demokratis yang melandasi rechtsstaat adalah asas pertanggungjawaban dan asas publik (openbaarheidsbeginsel). Jadi, pemerintah harus selalu bersikap terbuka dan dimungkinkannya rakyat menyampaikan keluhannya mengenai tindakan-tindakan penjabat yang dianggap merugikan.
Jadi, pihak-pihak yang dipengaruhi oleh suatu keputusan yang ditetapkan the stakeholders memiliki kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan, kritik, dan mengambil bagian dalam pembuatan keputusan-keputusan pemerintahan.
Artinya, pada hari ini, partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi yang dimaksudkan mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Ciri terpentingnya adalah warga negara berhubungan langsung dengan para pengambil keputusan.
Pemimpin selalu sadar dan melek perlunya masukan dan persepsi berguna warga negara yang berkepentingan (public interest) dalam rangka meningkatkan kualitas pengambilan keputusan. Sebab, dengan melibatkan masyarakat yang potensial terkena dampak kebijakan dan kelompok kepentingan (group interest), para pengambil keputusan bisa menangkap pandangan, kebutuhan dan pengharapan dari masyarakat, untuk kemudian menuangkannya kedalam suatu konsep.
Singkat kata, apa yang dilakukan Ridwan Kamil bisa dijadikan contoh baik. Bahwa Indonesia pada hari ini sangat butuh figur pemimpin yang sadar atas kemampuan pengelolaan interaksi, opini, dan realitas, yang gilirannya menciptakan komunikasi partisipatif yang ujung-ujungnya meringankan beban pemerintahan di manapun!
*Penulis, Muhammad Sufyan Abd. merupakan warga Bandung sekaligus dosen Fakultas Komunikasi Bisnis Telkom University.
(ash/ash)











































