Venus Ternyata Diselimuti Awan Mengandung Air, Bisa Dihuni?
Hide Ads

Venus Ternyata Diselimuti Awan Mengandung Air, Bisa Dihuni?

Rachmatunnisa - detikInet
Selasa, 07 Okt 2025 18:46 WIB
Venus: Benarkah ada kehidupan di langit planet yang bersuhu sekitar 400 derajat celsius?
Foto: BBC Magazine
Jakarta -

Menganalisis ulang data lama dengan pemahaman modern tampaknya sedang populer akhir-akhir ini. Namun, implikasi analisis ulang tersebut untuk beberapa topik lebih berdampak daripada yang lain.

Salah satu topik yang paling hangat diperdebatkan akhir-akhir ini dalam komunitas astrobiologi adalah apakah kehidupan bisa ada di Venus, khususnya di lapisan awannya, yang beberapa di antaranya memiliki kondisi paling mirip Bumi di Tata Surya, setidaknya dalam hal tekanan dan suhu.

Sebuah makalah baru dari tim peneliti Amerika baru saja menambah seru perdebatan itu dengan menganalisis ulang data dari misi Pioneer ke Venus yang diluncurkan NASA pada tahun 70-an, dan menemukan bahwa awan Venus sebagian besar terbuat dari air.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun air yang dibahas di sini bukan dalam pengertian tradisional tentang bagaimana kita menganggap uap air membentuk awan di Bumi. Dihidrogen monoksida di awan Venus tampaknya terikat dalam material terhidrasi, alih-alih berdiri sendiri sebagai tetesan air murni.

ADVERTISEMENT

Namun, hal itu tetap merupakan perubahan drastis dari pemahaman kita saat ini bahwa awan Venus sebagian besar terdiri dari asam sulfat. Masih ada sebagian yang mengambang di sana, 22% dari materi awan, menurut makalah tersebut.

Awan Mengandung Air di Venus

Data tersebut berasal dari dua instrumen yang terdapat pada Pioneer Venus Large Probe - bagian dari misi Pioneer yang turun melalui awan Venus, Neutral Mass Spectrometer (LNMS) dan Gas Chromatograph (LGC).

Rakesh Mogul dari Cal Tech Pomona dan Sanjay Limaye, pakar Venus dari University of Wisconsin menyadari bahwa saat wahana itu turun melalui bagian atmosfer yang lebih tebal, saluran masuk instrumen ini, yang dirancang untuk mengukur gas atmosfer, menjadi tersumbat oleh partikel aerosol dari awan.

Sebagai bukti penyumbatan ini, mereka menunjuk pada penurunan besar, tetapi sementara, dalam tingkat CO2 di atmosfer saat wahana itu turun melalui lapisan awan. Alih-alih menganggap hal ini sebagai kegagalan instrumen, mereka melihat data tersebut sebagai cara menganalisis jenis aerosol yang terperangkap di saluran masuk, dan mereka melakukannya dengan melihat suhu pembakarannya.

Saat wahana terus turun menembus atmosfer, ia melelehkan berbagai aerosol pada suhu yang berbeda (dan memungkinkan saluran masuk mengalir bebas kembali, yang menyebabkan pembacaan CO2 melonjak kembali). Menganalisis gas apa yang dilepaskan pada suhu saat aerosol tersebut meleleh akan membantu mereka memahami komposisi aerosol, dan awan itu sendiri.

Hal pertama yang mereka amati adalah lonjakan besar dalam air pada suhu 185 derajat Celcius dan 414 derajat Celcius, yang mengindikasikan keberadaan hidrat seperti ferri sulfat terhidrasi dan magnesium sulfat terhidrasi. Mereka juga menemukan bahwa air merupakan bagian terbesar dari aerosol, yaitu 62%, meskipun hampir seluruhnya terikat dalam hidrat-hidrat ini.

Seperti yang diduga, asam sulfat juga terdapat dalam aerosol. Asam sulfat muncul dalam pelepasan utama sebagai SO2 sekitar 215 derajat Celcius, yang merupakan suhu ketika asam sulfat terurai. Menariknya, terdapat pula pelepasan SO2 lainnya sekitar 397 derajat Celcius, yang menunjukkan adanya senyawa sulfat lain yang lebih stabil secara termal dalam aerosol.

Petunjuk tentang kemungkinan senyawa itu berasal dari lonjakan tanda kimia lain yang tak terduga, yaitu besi. Pada suhu yang sama dengan lonjakan SO2 kedua, LNMS mendeteksi lonjakan ion besi.

Dikombinasikan dengan pelepasan SO2 pada suhu tersebut, ada indikasi kuat bahwa salah satu aerosol adalah besi sulfat, yang terurai menjadi oksida besi dan oksida sulfur pada sekitar suhu tersebut.

Perkiraan menyebutkan kandungan besi sulfat dalam aerosol mencapai 16%, hampir menyamai 22% yang diperkirakan untuk asam sulfat yang dianggap mendominasi kumpulan awan hingga makalah ini ditulis.

Jadi, dari mana besi itu berasal? Para penulis yakin zat besi itu berasal dari debu kosmik yang tersedot ke atmosfer Venus dan kemudian bereaksi dengan awan asam. Namun, pada akhirnya, temuan terbesar dari analisis baru ini adalah keberadaan air yang signifikan.

Hal ini juga memecahkan misteri mengapa terdapat perbedaan antara wahana yang mengumpulkan data dari awan sesungguhnya dibandingkan dengan wahana yang hanya memindai lapisan awan Venus dari jarak jauh dengan peralatan spektroskopi dalam hal kandungan air di awan.

Perangkat penginderaan jarak jauh tidak akan mampu mendeteksi air yang terikat dalam hidrat, hanya jumlah uap atmosfer, membuat penyelidikan penurunan jauh lebih akurat dalam perhitungan total kandungan air.

Semua pemahaman baru ini jelas memiliki implikasi besar bagi pencarian kehidupan di awan Venus, karena salah satu argumen utama yang menentang kemungkinan tersebut adalah kelangkaan air di lingkungan tersebut. Ternyata, air jauh lebih melimpah daripada yang diperkirakan sebelumnya, meskipun memang agak asam bagi sebagian besar mikroba di Bumi.




(rns/rns)
Berita Terkait