Jepang Bangun Pendorong Plasma Canggih Penghancur Sampah Antariksa

Rachmatunnisa - detikInet
Selasa, 07 Okt 2025 14:15 WIB
Foto: BBC World
Jakarta -

Sebuah terobosan baru dalam keberlanjutan antariksa mungkin baru saja terbuka. Dalam sebuah studi terbaru yang diterbitkan dalam Scientific Reports, seperti dilihat Selasa (7/10/2025) para ilmuwan dari Universitas Tohoku di Jepang memperkenalkan pendorong plasma bertenaga fusi yang mampu memperlambat puing-puing orbital berukuran besar tanpa pernah melakukan kontak.

Inovasi ini menawarkan salah satu alat paling efektif untuk mengatasi ancaman sampah antariksa yang semakin meningkat dan mencegah skenario terburuk, yakni Sindrom Kessler, serangkaian tabrakan yang dapat membuat orbit Bumi tidak dapat digunakan.

Orbit Bumi Semakin Penuh

Selama beberapa dekade, banyak satelit telah diluncurkan, mati, meledak, bertabrakan, dan sisa-sisa aktivitas tersebut belum hilang. Saat ini, terdapat puluhan ribu serpihan puing yang terlacak mengambang di orbit rendah Bumi (LEO). Banyak yang berukuran kecil, beberapa berukuran besar, tetapi semuanya bergerak dengan kecepatan yang cukup cepat sehingga bisa sampai mengiris logam.

Dengan kecepatan seperti ini, satu tabrakan saja dapat memicu reaksi berantai yang dikenal sebagai Sindrom Kessler, menciptakan lebih banyak pecahan, hingga sebagian besar orbit menjadi tidak dapat digunakan.

Ini bukan hanya berita buruk bagi para astronaut, tetapi juga buruk bagi sistem pemantauan cuaca, GPS, internet, atau pertahanan antariksa. Namun, semakin banyak satelit yang diluncurkan setiap tahun, sehingga seperti menambahkan lebih banyak mobil ke jalan bebas hambatan yang sudah penuh dengan puing-puing.

Penghancur Sampah Antariksa

Pendorong plasma dua arah yang dikembangkan Universitas Tohoku menonjol karena bisa menjadi solusi salah satu masalah tersulit dalam pembersihan orbital, yakni bagaimana memperlambat objek puing besar yang berjatuhan dengan aman dan tepat.

Tidak seperti metode penangkapan fisik yang sulit menghadapi gerakan tak terduga, sistem ini menerapkan gaya non-kontak menggunakan pembatasan magnetik. Inti dari desainnya adalah medan magnet cusp, struktur yang sering ditemukan dalam reaktor fusi eksperimental.

Pengaturan ini memungkinkan pendorong menghasilkan dua sinar plasma yang berlawanan, diarahkan sedemikian rupa sehingga dapat mengimbangi gaya yang diterapkan pada puing-puing. Pendorong tidak perlu mencengkeram atau mendorong objek, melainkan hanya memancarkan plasma terfokus untuk mengubah kecepatan objek seiring waktu.

Pertama kali diusulkan pada 2018, pendorong tersebut kini telah ditingkatkan secara signifikan melalui integrasi teknik kontrol plasma canggih, menawarkan kinerja yang jauh lebih baik daripada desain sebelumnya.

Uji Laboratorium

Selama uji laboratorium yang mensimulasikan kondisi orbital, pendorong yang disempurnakan mencapai gaya 25 milinewton dengan daya 5 kilowatt. Secara teknis, benda ini dapat memperlambat objek seberat satu ton hingga cukup untuk memasuki kembali atmosfer Bumi dalam waktu sekitar 100 hari. Untuk standar antariksa, itu sungguh mengesankan.

Yang membuat hal ini semakin menjanjikan adalah bagaimana propulsi plasma hemat energi dibandingkan dengan roket kimia. Alih-alih pembakaran mesin yang kuat namun singkat, sistem plasma dapat memberikan daya dorong yang stabil dan lembut dalam durasi yang lama.

Namun, menerapkan pendorong plasma ini dalam misi pembersihan orbital yang sesungguhnya tidaklah mudah. Mendekati puing-puing yang bergerak cepat di orbit rendah Bumi membutuhkan presisi yang luar biasa dan sistem navigasi canggih yang mampu menghindari tabrakan.

Meskipun teknologinya hemat energi, pesawat ruang angkasa yang membawanya relatif berat, yang secara signifikan meningkatkan biaya peluncuran. Semakin banyak puing yang ditargetkan oleh sebuah misi, semakin mahal pula biaya operasinya.

Selain itu, ada juga aspek hukum yang perlu dipertimbangkan. Sebagian besar puing antariksa masih dimiliki oleh negara atau entitas yang awalnya meluncurkannya. Intervensi tanpa izin menimbulkan masalah hukum yang serius. Meskipun demikian, teknologi yang dikembangkan di Universitas Tohoku menandai sebuah langkah maju yang berarti.



Simak Video "Video: Indonesia Belum Punya Alat Pendeteksi Sampah Antariksa yang Jatuh ke Bumi"

(rns/rns)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork