Fenomena cuaca antariksa dapat menjadi ancaman bahaya bagi teknologi, antariksawan, infrastruktur antariksa infrastruktur landas bumi, dan dampak ekonomi yang besar. Untuk itu, negara berbasis satelit memiliki unit khusus untuk mengatasi persoalan cuaca antariksa tersebut.
Cuaca antariksa ini berkembang dari sains antariksa menuju ketahanan teknologi. Peneliti harus memprediksi risiko dan menyiapkan agar teknologi bisa tahan pada fenomena cuaca antariksa.
Sedangkan fenomena alami yang kompleks dalam cuaca antariksa antara lain, interior dan atmosfer matahari, ruang antarplanet dan heliosfer, magnetosfer dan ionosfer planet, serta permukaan planet.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dhani Herdiwijaya dari Program Studi Astronomi ITB, mengungkapkan bahwa saat ini banyak satelit berada di luar angkasa, sebagai teknologi yang advanced dan digunakan untuk berbagai aspek kehidupan termasuk juga untuk bidang saintifik.
Dhani menyampaikan bahwa cuaca antariksa merupakan bidang transdisiplin. Irisan bidang transdisiplin melahirkan inovasi yang berpotensi melahirkan kerangka baru, sebagai contohnya adalah risk dan resiliensi framework.
"Dari riset cuaca antariksa menuju ke kegiatan operasional yang dapat dimanfaatkan oleh end user. Perlu peningkatan kapasitas dari komponen-komponen cuaca antariksa berupa pembangunan institusi yang sesuai, penguatan manajerial dan peran komunitas," ujar Dhani dikutip dari situs BRIN, Sabtu (9/3/2024).
Dhani menuturkan, untuk prosesnya diperlukan identifikasi/assesmen kebutuhan, bentuk atau desain framework, pelaksanaan dan monitoring. Integrasi dan komunikasi organisasi juga sangat penting. Koordinasi secara global yang efektif sangat penting untuk memaksimalkan program/pendanaan dan untuk menghindari duplikasi.
"Dalam interaksi di organisasi internasional terdapat juga kesepakatan antara beberapa organisasi internasional, yang dikenal sebagai Deklarasi Coimbra. Deklarasi tersebut menyatakan, interaksi antar berbagai organsisasi dalam memajukan riset dan kegiatan berkait cuaca antariksa," lanjutnya.
Misalnya, kata Dhani, Comittee on Space Research (Cospar) pada riset dan pengembangan, International Space Center Service (ISES) pada operasional dan pelayanan, dan World Meteorological Organization (WMO) yang memfasilitasi dan menyatukan semua hal tersebut. Koordinasi secara global yang efektif sangat penting untuk memaksimalkan program dan pendanaan pada kegiatan di berbagai bidang terkait cuaca antariksa.
"Pengamatan dan prediksi rutin perlu dilakukan dan ada juga data wideline dengan resolusi tinggi. Data primer terus dikembangkan, misalnya apabila ingin dikembangkan satu teknologi maka perlu pengalaman dimana dan bagaimana harus mengoperasikan. Untuk mengembangkan teknologi tersebut perlu dilihat perkembangan teknologi instrumentasi," urainya.
Lebih jauh Dhani memaparkan, upaya transdisiplin akan sangat penting untuk memajukan cuaca antariksa.a
"Secara khusus, mengadopsi sistem informasi di mana sharing pengetahuan antara ilmuwan, dan industri yang terkena dampak akan meningkatkan kesiapan kita dalam menghadapi ancaman cuaca antariksa. Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan upaya khusus untuk mengumpulkan para ilmuwan, anggota masyarakat, dan perwakilan industri, seperti lokakarya lintas disiplin ilmu dan skenario uji coba industri," pungkasnya.
Pada akhir paparannya, Dhani menjelaskan, perlu pemanfaatan open data untuk membentuk produk data, alat dan perangkat lunak yang ada agar lebih mudah diakses. Selain itu, meningkatkan peran citizen science sebagai keterikatan yang aktif antara sains dan publik. Aksesibilitas data lebih luas, dan upaya mencerdaskan bangsa melalui pembangunan komunitas sains untuk memajukan bidang cuaca antariksa.
Kepala Organisasi Riset Penerbangan dan Antariksa (ORPA) BRIN Robertus Heru Triharjanto memberikan arahan, bahwa Observatorium Nasional Timau merupakan salah satu platform kolaborasi riset di Pusat Riset Antariksa ORPA-BRIN.
"Periset Pusat Riset Antariksa BRIN yang nantinya berada di Timau tidak hanya menjadi peneliti tetapi juga menjadi host atau tuan rumah. Sehingga perlu menciptakan sebanyak mungkin program kemitraan sesuai skema yang ada di BRIN. Seperti postdoctoral, visiting researcher dan research assistant yang persyaratannya akan ada penyesuaian, serta tidak seperti regular," pungkas Heru.
(agt/rns)