Kiamat Badai Matahari di Indonesia, Ini Penjelasannya

Rachmatunnisa - detikInet
Jumat, 12 Agu 2022 16:00 WIB
BRIN Jelaskan soal badai matahari (NASA)
Jakarta -

Aktivitas Matahari sudah sering terjadi di masa lalu dan masih berlangsung hingga hari ini. Kita harus memahami proses dan dampak berbagai aktivitas Matahari tersebut dan mengantisipasi dampak negatifnya semampu kita.

"Cuaca antariksa merupakan keadaan di lingkungan antariksa, khususnya antara Matahari dan Bumi, yang meliputi kondisi Matahari, medium antarplanet, atmosfer atas Bumi (ionosfer), dan selubung magnet Bumi (magnetosfer). Seperti halnya cuaca di Bumi, cuaca antariksa bersifat dinamis dan sangat bergantung pada aktivitas Matahari," kata Peneliti Pusat Antariksa Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Johan Muhammad, dikutip dari situs BRIN, Jumat (12/8/2022).

Johan menjelaskan bahwa Matahari sebagai sumber energi utama di Tata Surya, memiliki pengaruh terhadap cuaca antariksa. Matahari secara rutin melepaskan energi dalam bentuk radiasi.

Beberapa aktivitas Matahari yang berpengaruh besar terhadap kondisi cuaca antariksa diantaranya adalah flare, lontaran massa korona, dan angin surya.

"Aktivitas Matahari secara langsung mengubah kerapatan dan tekanan plasma di medium antarplanet dan ionosfer, serta meningkatkan tekanan magnetik pada magnetosfer Bumi. Akibatnya, berbagai sinyal gelombang elektromagnetik yang biasa dimanfaatkan oleh manusia untuk keperluan komunikasi dan navigasi dapat terganggu saat terjadi aktivitas Matahari yang ekstrem," papar Johan.

Kiamat badai Matahari di Indonesia?

Johan menuturkan bahwa di Indonesia sendiri, dampak yang didapat tidak sebesar daerah yang berada di lintang tinggi seperti di sekitar kutub Bumi. Hal ini dikarenakan letak Indonesia yang berada di khatulistiwa.

Meski demikian, tidak berarti Indonesia bebas dari dampak badai Matahari. Cuaca antariksa akan banyak berdampak pada gangguan sinyal radio frekuensi tinggi (HF) dan navigasi berbasis satelit.

"Di Indonesia, cuaca antariksa akibat aktivitas Matahari dapat mengganggu komunikasi antarpengguna radio HF dan mengurangi akurasi penentuan posisi navigasi berbasis satelit, seperti GPS," ujarnya.

Selain itu, tambah Johan, karena semakin tingginya ketergantungan masyarakat di Indonesia terhadap teknologi satelit dan jaringan ekonomi global, gangguan pada satelit dan jaringan kelistrikan di wilayah lintang tinggi seperti kutub akibat cuaca antariksa tentunya juga dapat berpengaruh terhadap kehidupan manusia di Indonesia secara tidak langsung.

Saat terjadi badai Matahari, kita kerap merasa khawatir berlebihan dan hoax yang bertebaran kerap mengaitkan ini dengan kiamat. Menanggapi istilah kiamat badai Matahari, Johan menyebutnya sebagai istilah yang keliru dan perlu diluruskan.

"Tidak ada istilah seperti itu di kalangan masyarakat ilmiah. Kita telah hidup lama berdampingan dengan cuaca antariksa. Aktivitas Matahari rutin terjadi. Yang perlu kita pahami adalah bagaimana prosesnya dan memitigasi dampak negatifnya semampu kita," ujarnya.

Johan melanjutkan bahwa BRIN juga memberikan edukasi kepada masyarakat agar tidak panik dan tidak mudah termakan hoax yang beredar berkaitan dengan badai Matahari.

"Matahari memiliki siklus sekitar 11 tahun sekali. Siklus ini sifatnya tidak selalu sama di setiap saat. Terkadang, Matahari sangat aktif melepaskan energi eksplosif, sementara di periode lainnya Matahari bersikap sangat tenang," urai Johan.

Siklus 11 tahunan ini telah dikenal lama oleh manusia. Setidaknya, keberadaan siklus Matahari telah terdokumentasikan dengan baik sejak abad 18. Saat ini, kita sedang berada di awal siklus ke-25 yang diperkirakan akan mencapai puncaknya pada tahun 2024-2025.

Pada saat itu, aktivitas Matahari diperkirakan akan meningkat dengan frekuensi kejadian flare dan lontaran massa korona kemungkinan akan bertambah.

Tertarik mengetahui kondisi terkini cuaca antariksa? Kalian dapat melakukan pemantauan melalui situs penyedia layanan informasi cuaca antariksa BRIN melalui tautan Space Weather Information and Forecast Services (SWIFtS).

Kalian bisa menemukan informasi mengenai aktivitas Matahari yang terjadi dalam 24 jam terakhir, serta kondisi geomagnet dan ionosfer global serta regional wilayah Indonesia.



Simak Video "Video Nyobain Animalium BRIN!"

(rns/fay)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork