Beberapa waktu lalu, profesor antropologi di University of Alberta bernama Gregory Forth, berpendapat bahwa manusia purba kemungkinan masih hidup di hutan Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Pakar arkeologi Indonesia membantah hal tersebut.
Arkeolog dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Pindi Setiawan membantah temuan peneliti asing yang menyebut manusia purba masih hidup di Flores. Menurut Pindi, dari kelas Homo, yang masih hidup sampai sekarang hanya Homo Sapiens atau manusia yang kini hidup di Flores.
"Setahu saya sekarang ya Homo sapiens saja, dari kelas Homo yang masih hidup. Homo sapiens itu ya DNA manusia Adam. Sama aja sih, hanya ada variasi warna kulit, bentuk rambut, bentuk mata, bisa juga cebol, jangkung, berjari 6. Itu variasinya," kata Pindi seperti dikutip dari CNN Indonesia.com.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pindi menjelaskan, masyarakat yang ada di Flores tidak ada hubungannya dengan Homo floresiensis atau yang disebut juga Hobbit seperti dikatakan arkeolog asing tersebut.
"Setahu saya sih, nggak ada hubungannya (masyarakat di Flores) dengan DNA Homo floresiensis," tegasnya.
Sebelumnya, seorang peneliti asing meyakini jika salah satu spesies manusia purba masih hidup di Flores. Pada 2003, arkeolog mencari bukti migrasi manusia moderen dari Asia ke Australia dan menemukan kerangka yang cukup lengkap dari spesies manusia yang punah di Pulau Flores, yakni Homo Floresiensis.
Dalam sebuah opini, dilansir The Scientist, Gregory Forth berpendapat ahli paleontologi dan ilmuwan lain telah mengabaikan pengetahuan dan catatan kaum Pribumi tentang "manusia kera" yang tinggal di hutan Flores.
Ia meyakini penemuan fosil dari spesies kecil hominin di pulau Flores, Indonesia merupakan homo floresiensi dan berasal dari pleitosen akhir, spesies ini diakui merupakan manusia purba yang tampaknya hidup berdampingan dengan manusia modern.
"Tujuan saya menulis buku ini adalah untuk menemukan penjelasan terbaik - yaitu, yang paling rasional dan paling didukung secara empiris - dari kisah-kisah Lio tentang makhluk-makhluk itu," tulis Forth dalam artikel tersebut.
"Ini termasuk laporan penampakan oleh lebih dari 30 saksi mata, yang semuanya saya ajak bicara langsung. Dan saya menyimpulkan cara terbaik untuk menjelaskan apa yang mereka katakan kepada saya adalah hominin non-sapiens telah bertahan di Flores hingga saat ini atau baru-baru ini," tambahnya.
Kemudian Forth menjelaskan cerita rakyat orang-orang Lio yang mendiami pulau itu berisi cerita tentang manusia yang berubah menjadi hewan saat mereka bergerak dan beradaptasi dengan lingkungan baru. Forth menyamakannya dengan Lamarckisme, pewarisan karakteristik fisik yang diperoleh.
"Seperti yang diungkapkan oleh penelitian lapangan saya, perubahan yang diceritakan seperti itu mencerminkan pengamatan lokal tentang persamaan dan perbedaan antara spesies leluhur dan keturunannya yang berbeda," katanya, seperti dikutip dari IFL Science.
Baca juga: Studi Sebut Otak Manusia Menyusut, Artinya? |
Untuk saat ini, waktu paling dekat yang dapat kita tentukan untuk menentukan tanggal H. floresiensis masih hidup adalah 50 ribu tahun yang lalu. Namun, Forth mendesak para peneliti lain agar pengetahuan pribumi harus disertakan dengan fakta evolusi hominin.
"Naluri awal kami, saya kira, adalah menganggap manusia kera yang masih ada di Flores sebagai sepenuhnya imajiner. Tapi, dengan menganggap serius apa yang dikatakan orang Lio, saya tidak menemukan alasan yang baik untuk berpikir begitu," tutur Forth.
"Apa yang mereka katakan tentang makhluk itu, ditambah dengan bukti lain, sepenuhnya konsisten dengan spesies hominin yang masih hidup, atau spesies yang hanya punah dalam 100 tahun terakhir," imbuhnya.
* Artikel ini sebelumnya tayang di CNN Indonesia dengan judul "Ahli RI Bantah Teori Peneliti Asing soal Manusia Purba di Flores."
(rns/rns)