Misteri Penyebab Long COVID Akhirnya Terungkap
Hide Ads

Misteri Penyebab Long COVID Akhirnya Terungkap

Rachmatunnisa - detikInet
Kamis, 16 Sep 2021 19:45 WIB
Isolation Quarantine Coronavirus Covid 19
Foto: Getty Images/Xesai
Jakarta -

Para peneliti telah menemukan mekanisme mendasar yang menyebabkan long COVID. Untuk diketahui, long COVID memunculkan gejala berkepanjangan antara lain kabut otak, masalah pernapasan, mudah lelah, dan lain-lain, meski pasien telah lama dinyatakan sembuh dari COVID-19.

Penelitian yang dipublikasikan di The Public Library of Science ONE (PLOS ONE) memperlihatkan adanya produksi auto-antibodi selama berminggu-minggu setelah infeksi yang mengganggu regulasi sistem kekebalan. Hal ini mengakibatkan aktivasi protein kekebalan dan peradangan secara berlebihan.

Dikutip dari IFL Science, jika para peneliti dapat memverifikasi temuan mereka dan keterkaitannya dengan long COVID, antibodi akan menjadi target yang menjanjikan sebagai terapi pengobatan COVID-19.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Semua yang kami temukan konsisten dengan antibodi ini sebagai pemicu long COVID. Jadi ini adalah perkembangan menarik yang perlu dipelajari lebih lanjut," kata ketua peneliti John Arthur, profesor dan kepala Divisi Nefrologi di University of Arkansas untuk Medical Sciences (UAMS) College of Medicine.

Antibodi yang dimaksud, menargetkan enzim yang banyak digunakan selama infeksi COVID-19, yang disebut ACE2. Enzim ini sangat penting bagi partikel virus SARS-CoV-2 untuk memasuki sel inang, karena mereka masuk melalui reseptor ACE2 di permukaan sel.

ADVERTISEMENT

Pada infeksi yang khas, ACE2 memecah protein kekebalan, mengakibatkan penurunan aktivasi sistem kekebalan. Ini mencegah sistem kekebalan melakukan kerusakan pada sel saat melawan infeksi. Tetapi ketika SARS-CoV-2 menginfeksi sel dan mengikat reseptor, hal tersebut mencegah ACE2 mengurangi aktivitas kekebalan ini. Para ilmuwan percaya, ini adalah salah satu metode di mana COVID-19 merusak tubuh sedemikian rupa.

Namun, pada pasien long COVID, para peneliti berhipotesis bahwa tubuh menciptakan antibodi otomatis terhadap ACE2 yang bertahan lama, menghasilkan aktivitas ACE2 yang lebih rendah dan kerusakan dari sistem kekebalan yang terlalu aktif.

Untuk mengujinya, para peneliti memperoleh plasma atau serum dari 80 pasien. Sebanyak 67 pasien memiliki riwayat infeksi COVID-19, dan 13 lainnya tanpa infeksi COVID-19. Dengan menggunakan tes PCR, mereka menyaring sampel untuk keberadaan auto-antibodi ACE2 dalam jumlah yang melampaui ambang batas tertentu.

Mereka menemukan bahwa tidak satu pun dari 13 pasien bebas COVID-19 yang memiliki auto-antibodi ACE2, dan hanya 1 dari 20 pasien rawat jalan dengan tes PCR positif COVID-19 yang sampelnya diambil di rumah sakit tak lama setelah terinfeksi. Sebaliknya, sebagian besar sampel yang diambil 2 minggu setelah infeksi, dan juga yang dirawat di rumah sakit karena COVID-19, mengandung auto-antibodi ACE2.

Plasma yang mengandung auto-antibodi menimbulkan aktivitas ACE2 yang lebih rendah, meskipun memiliki tingkat ACE2 yang sebanding dalam larutan. Ini menunjukkan bahwa antibodi mengganggu aktivitas enzim. Ketika para ilmuwan menambahkan plasma yang mengandung auto-antibodi ke sampel yang tidak memiliki riwayat infeksi COVID-19, terlihat adanya penurunan aktivitas ACE2.

Hasilnya menunjukkan dua hal. Pertama, auto-antibodi ACE2 kemungkinan terbentuk beberapa minggu setelah infeksi COVID-19. Kedua, auto-antibodi ini dapat secara langsung menghambat aktivitas ACE2, yang mungkin mengakibatkan peradangan dan gejala yang terlihat pada penderita long COVID.

Dengan adanya temuan ini, tim peneliti berharap bisa memajukan penelitian mereka dan sepenuhnya memverifikasi hasilnya. Jika mekanisme ini adalah penyebab utama long COVID, pengobatan dapat dikembangkan dengan baik.

"Jika kami menunjukkan bahwa seluruh hipotesis ini benar, bahwa gangguan ACE2 ini benar-benar menyebabkan long COVID, ini akan membuka banyak perawatan potensial," kata Arthur.

"Jika langkah kami selanjutnya mengkonfirmasi bahwa antibodi ini adalah penyebab gejala long COVID, ada obat yang harus bekerja untuk mengobatinya. Jika kita sampai ke fase penelitian itu, langkah selanjutnya adalah menguji obat-obatan ini dan mudah-mudahan meringankan orang dari gejala yang mereka alami," tutupnya.




(rns/rns)