Penelitian menyebutkan, sebagian penyintas COVID-19 mengalami sejumlah gejala pasca sembuh atau efek COVID-19 jangka panjang. Long COVID, demikian sebutan untuk kondisi ini, dikaitkan dengan lebih dari 200 gejala mulai dari mudah mengalami kelelahan, nyeri sendi, hingga kondisi otak dan jantung yang tak lagi sama.
Dalam sebuah studi internasional yang membahas dampak jangka panjang dari virus Corona, para peneliti yang dipimpin oleh tim dari University College London (UCL), Inggris mewawancarai para penyintas COVID-19 yang melaporkan adanya gejala yang bertahan selama berbulan-bulan.
Gejala long COVID yang paling umum antara lain:
- Kelelahan
- Kesulitan bernapas
- Nyeri sendi
- Kelelahan
- Nyeri dada
- Kehilangan bau dan/atau rasa
- Gangguan memori dan ketidakmampuan untuk berkonsentrasi dengan baik
- Masalah tidur.
Mudah merasa lelah dialami 98% responden, malaise pasca aktivitas (memburuknya gejala setelah aktivitas fisik atau mental) dialami oleh 89% responden, dan disfungsi kognitif atau sering disebut kabut otak sebanyak 85% responden.
Dikutip dari The Independent, Senin (19/7/2021) gejala lainnya termasuk halusinasi visual, tremor, kulit gatal, perubahan siklus menstruasi, disfungsi seksual, jantung berdebar, masalah kontrol kandung kemih, herpes zoster, kehilangan memori, penglihatan kabur, diare, dan tinnitus.
Penelitian yang dipublikasikan di jurnal EClinicalMedicine Lancet ini melibatkan 3.762 peserta dari 56 negara. Sebanyak 1.020 di antaranya adalah kasus terkonfirmasi dan 2.742 orang diduga mengidap penyakit tersebut. Para peneliti mengidentifikasi total 203 gejala dalam 10 sistem organ, dengan 66 gejala dilacak selama tujuh bulan.
Tim di balik laporan tersebut, yang semuanya memiliki gejala COVID dalam waktu lama, menyerukan pedoman klinis untuk menilai pasien yang terkena dampak diperluas di luar tes fungsi kardiovaskular dan pernapasan, untuk mempertimbangkan berbagai gejala yang lebih luas, termasuk yang mempengaruhi neuropsikiatri dan fungsi neurologis.
Gejala hingga berbulan-bulan
"Untuk pertama kalinya, penelitian ini menyoroti spektrum gejala yang luas, terutama neurologis, lazim dan persisten pada pasien long COVID," kata Dr Athena Akrami ahli saraf dari Sainsbury Wellcome Centre di UCL sekaligus peneiti senior laporan ini.
"Disfungsi memori dan kognitif yang dialami oleh lebih dari 85% responden, adalah gejala neurologis yang paling pervasif dan bertahan, sama-sama umum di semua usia, dan dengan dampak substansial pada pekerjaan," sambungnya.
Gejala lainnya adalah sakit kepala, insomnia, vertigo, neuralgia, perubahan neuropsikiatri, tremor, kepekaan terhadap kebisingan dan cahaya, halusinasi (penciuman dan lainnya), tinnitus, dan gejala sensorimotor lainnya juga umum terjadi, dan mungkin menunjukkan masalah neurologis yang lebih besar yang melibatkan pusat dan sistem saraf perifer.
"Seiring dengan gejala pernapasan dan kardiovaskular yang terdokumentasi dengan baik, sekarang ada kebutuhan yang jelas untuk memperluas pedoman medis untuk menilai rentang gejala yang jauh lebih luas ketika mendiagnosis long COVID," kata Akrami.
"Kemungkinan ada puluhan ribu pasien long COVID menderita dalam diam, mereka tidak yakin bahwa gejala mereka masih terkait dengan COVID-19 yang pernah diderita," jelasnya.
Namun para peneliti mengingatkan bahwa sifat retrospektif dari penelitian ini meningkatkan kemungkinan bias ingatan, sementara fakta bahwa survei tersebut didistribusikan dalam kelompok pendukung online meningkatkan risiko bias pengambilan sampel terhadap pasien long COVID.
Survei tersebut juga sebagian besar dijawab oleh responden berbahasa Inggris (92%) dan kulit putih (85%), sehingga meningkatkan kemungkinan bahwa beberapa kondisi yang dialami oleh demografi lain mungkin tidak tercatat.
Simak Video "Video Update Situasi Kasus Covid-19 di Indonesia"
(rns/fay)