Dari banyak pihak yang saat ini mengembangkan vaksin COVID-19, kandidat yang dikembangkan oleh Oxford University banyak disebut paling menjanjikan. Kenapa demikian?
Saat berita virus corona mulai heboh pada bulan Januari, ilmuwan di Oxford mulai membuat calon vaksinnya. Hanya berselang 3 bulan, kampus bergengsi itu mengumumkan vaksin bernama ChAdOx1 nCoV-19 sukses diujicoba di kera, di mana primata itu tetap sehat meski terpapar Corona.
Salah satu kunci cepatnya Oxford membuat vaksin Corona adalah karena tim ilmuwan di sana sudah mengerjakan beberapa vaksin yang mungkin manjur untuk penyakit atau wabah masa depan. Penyakit semacam itu mereka beri kode nama X, dideskripsikan sebagai penyakit yang mungkin bakal memicu pandemi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nah, COVID-19 langsung disebut oleh mereka sebagai 'penyakit X' itu pada awal Januari sehingga tim Oxford bisa merancang vaksinnya dengan cepat.
Saat ini, vaksin itu mulai diujicoba pada manusia untuk mengetahui keampuhannya. Satu dari 1.020 relawan yang akan ikut trial adalah Simeon Courtie berusia 50 tahun. Mantan presenter televisi ini menceritakan pengalamannya.
"Aku ingin melakukan sesuatu yang berguna. Aku tahu ilmuwan kesulitan menemukan relawan. Jadi kupikir, well, mungkin aku bisa sedikit membantu," kata dia.
Dikutip detikINET dari ABC, putrinya sebenarnya juga ingin ikut serta tapi ditolak saat penyaringan ketat oleh Oxford. Selain harus mengisi daftar berisi riwayat kesehatan serta bebas COVID-19, relawan wajib pula menjalani tes psikologi.
Trial tahap pertama akan melibatkan 510 relawan untuk menentukan keamanan vaksin pada manusia. Kemudian akan diikuti oleh fase 2 dan 3 yang melibatkan lebih banyak relawan untuk mengetahui kemanjuran vaksin melawan virus Corona. Hasil pengujian akan diketahui kemungkinan bulan September.
Courtie sendiri sudah disuntik oleh tim Oxford. "Mereka bilang aku mungkin akan mengalami gejala flu, mungkin temperatur tinggi, sakit tulang atau otot, apapun," cetus dia.
"Dan malam itu aku tak bisa tidur. Aku sakit kepala sepanjang malam dan minum obat saat subuh. Aku seperti sedang melawan flu parah. Tapi di hari selanjutnya, aku sudah baik-baik saja," kisah Courtie.
Pada saat ini, tugas Courtie cukup mudah. Tiap hari, dia mengukur suhu tubuhnya dan mendaftarkannya di diari elektronik. Dia juga harus melapor seandainya punya gejala mirip COVID-19.
Pengembangan vaksin Corona sangat penting bagi Inggris karena saat ini, angka kematian di negara kerajaan itu akibat COVID-19 tertinggi kedua di dunia, hanya kalah dari Amerika Serikat. Courtie pun senang dapat ambil bagian.
"Bukankah brilian bahwa para ilmuwan itu, di tengah perlombaan (vaksin) di mana-mana, kami dapat ikut serta. Semua orang disini merasa kita semua ambil bagian," katanya.