Kepala LAPAN Thomas Djamaluddin mengatakan peluncuran roket dari lokasi dekat dengan ekuator akan lebih efisien dan murah karena tidak perlu manuver untuk mengubah orbit.
"Jadi bisa arah polar artinya dekat ke arah kutub dan yang jarang bisa dilakukan itu arah ekuatorial," kata Djamal kepada tim Blakblakan detikcom.
Pembangunan bandar antariksa ini, dia melanjutkan, merupakan amanat UU No 21 tahun 2013 tentang Keantariksaan. Juga amanat Perpres Nomor 45 tahun 2017 tentang Rencana Induk Keantariksaan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebelum 2040, setidaknya menjelang 100 tahun Indonesia pada 2045, Indonesia harus sudah mampu membuat satelit sendiri, membuat roket peluncurnya sendiri dan meluncurkan dari bumi Indonesia sendiri. "Itu mimpi besar yang juga pernah diimpikan oleh Bung Karno," ucap Djamal.
Karena butuh dana yang sangat besar, teknologi tinggi, dan risiko yang juga tidak kecil, LAPAN akan menerapkan dua strategi untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Pertama, kata Djamal, LAPAN akan membangun bandara skala kecil di Biak untuk pengujian berbagai roket. Bandara kecil ini targetnya selesai pada 2024.
Kedua, untuk bandara antariksa internasional, LAPAN akan bermitra dengan negara-negara pegiat keantariksaan seperti China, Jepang, Korea dan India. Djamal optimistis kehadiran bandara antariksa di Biak kelak akan diminati banyak pihak karena lokasinya yang sangat strategis.
"Pada waktunya, sektor swasta akan makin banyak yang terlibat dalam teknologi keantariksaan seperti dilakukan Space-X yang mampu bersaing dengan NASA," kata dosen pascasarjana UIN Walisongo, Semarang itu.
Soal kesiapan SDM, Djamal yang meraih master dan doktor astronomi dari Universitas Kyoto, Jepang optimistis Indonesia tak kalah dengan negara lain. Sejak 2003, kata dia, para ahli LAPAN telah mampu membuat sejumlah satelit dengan kualitas prima. Sementara untuk roket, para ahli LAPAN kini terus berupaya untuk mengembangkan roket yang dapat meluncurkan satelit.
Padahal dibandingkan dengan negara-negara lain, anggaran riset LAPAN tergolong amat minim. "Sejak 2015, kami mendapat sekitar Rp 800 Miliar dari kebutuhan Rp 1,2 triliun," kata lelaki kelahiran Purwokerto, 23 Januari 1962 itu.
Pada bagian lain, dia mengungkapkan kisah piring terbang atau UFO dan alien, mengubah dirinya dari semula bercita-cita jadi peneliti, kemudian menjadi ahli astronomi. Seperti apa pendapatnya soal UFO dan alien, juga Komunitas Bumi Datar? Simak selengkapnya dalam Blak-blakan, "Bandara Antariksa, Satelit, dan UFO" di detik.com, Senin (11/11/2019). (fay/fay)