Walau demikian, jumlah air yang ditemukan terikat di tanah Bulan memang tidak banyak. Jumlah dan lokasinya menyebar tergantung waktu di satelit alami Bumi itu, namun lebih banyak ditemukan di daerah yang jauh dari garis lintang Bulan.
Itu berarti, air di sana lebih banyak ditemukan di daerah yang mendekati kutub. Satu yang menarik adalah, air di Bulan ternyata memiliki kecenderungan untuk berpindah-pindah seiring naiknya suhu permukaan di tempatnya berada.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada dasarnya, molekul air di sana terikat dengan regolith, campuran dari debu dan bebatuan lapuk yang melapisi permukaan bulan, sampai permukaan mencapai suhu tertingginya. Jika hal tersebut terjadi, molekul tersebut menarik dirinya dan berpindah ke lokasi yang lebih dingin temperaturnya.
Lantas, bagaimana dengan siklusnya? Sebagaimana kita ketahui, di Bumi, siklus air melibatkan penguapan yang akhirnya berproses menjadi hujan.
Merujuk pada penelitian tersebut, Bulan membentuk airnya sendiri seiring berjalannya waktu, bukan berasal dari angin surya maupun Bumi. Hal ini sekaligus memunculkan anggapan bahwa material tersebut dapat membuat misi ke Bulan di masa depan bisa menjadi lebih murah.
"Air di Bulan berpotensi untuk digunakan manusia sebagai bahan bakar atau pengatur suhu panas. Jika material ini tidak perlu diluncurkan dari Bumi, maka ini membuat misi ke Bulan di masa depan bisa lebih terjangkau," ujar Amanda Hendrix, peneliti dari Planetary Science Institute, Arizona, Amerika Serikat.
Penelitian ini sendiri menggunakan Lunar Reconnaissance Orbiter (LRO) sebagai instrumen terkait observasi terhadap Bulan. Itu merupakan wahana antariksa milik NASA yang diluncurkan 2009 lalu untuk mengorbit Bulan.
(mon/krs)