Kini, para peneliti telah mengidentifikasi dua planet yang memiliki kemungkinan untuk mempunyai kondisi layak huni, dengan ketersediaan air serta sumber panas menjadi tolak ukur utama dalam menentukannya.
Sejatinya, Trappist-1, sistem bintang bermukimnya dua objek luar angkasa tersebut, bersama lima planet lain, sudah menyajikan fakta menarik sejak pertama kali ditemukan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penemuan ini pun memancing para peneliti untuk menganalisis Trappist-1 labih jauh, seraya berharap masih ada lagi sejumlah planet berbatu seukuran Bumi di galaksi Bima Sakti.
Amy Barr dari Planetary Science Institute, Arizona, Amerika Serikat, beserta sejumlah kolega dari Hungaria, tengah mengembangkan model matematis terhadap 7 planet dari Trappist-1.
Hasilnya, mereka menemukan bahwa enam di antaranya bisa jadi memiliki air, baik dalam bentuk cairan maupun es, ditambah kemungkinan terdapat lautan global di dalamnya.
Setelah itu, mereka membuat model terhadap orbit planet-planet ini untuk mengetahui suhu permukaan yang dimiliki oleh enam objek tersebut.
"Planet-planet ini memiliki orbit yang aneh, seperti bentuk telur. Hal ini menyebabkan objek-objek tersebut menjadi menjadi melar setiap mengitari bintangnya," jelas Barr, seperti detikINET kutip dari The Guardian, Senin (29/1/2018).
Menurutnya, fenomena melarnya bentuk dari planet-planet tersebut dapat menyebabkan energi panas di dalamnya, atau disebut tidal heat (pemanasan pasang surut).
Dalam laporan studi, tim yang bertanggung jawab dalam penelitian ini mengambil kesimpulan bahwa planet B dan C mengalami tidal heat, dengan tambahan planet C kemungkinan memiliki air dalam jumlah kecil, atau tidak sama sekali, dan didominasi oleh batu dan besi.
Planet D dan E juga mengalami pemanasan pasang surut, namun dibandingkan dengan dua planet sebelumnya, intensitasnya lebih kecil.
Selain itu, para peneliti pun beranggapan bahwa planet D dan E menjadi yang paling memungkinkan untuk mendukung kehidupan.
Hal itu disebabkan oleh temperatur yang dimiliki oleh planet tersebut. Berdasarkan hasil penelitian, planet D diperkirakan memiliki suhu sekitar 15 derajat Celsius. Sedangkan planet E sedikit lebih dingin.
Meskipun Barr menyamakan suhu planet E dengan Antartika, ia menyebutkan bahwa hal tersebut masih masuk akal.
Dengan munculnya fenomena tidal heat, para peneliti semakin bersemangat untuk mencari planet yang dapat menyokong kehidupan.
Hal ini dikarenakan pemanasan pasang surut tidak hanya menghangatkan planet tersebut, namun juga mengarah kepada reaksi kimia serta pergerakan di mantelnya, kondisi yang mendorong perkembangan kehidupan.
Kini, selain terus berusaha untuk menyelesaikan laporan studi mereka, tim ini berharap bahwa NASA dapat meluncurkan teleskop luar angkasa generasi berikutnya, yaitu James Webb, secepatnya agar dapat mengumpulkan data secara lebih spesifik terhadap sistem Trappist-1. (rns/rou)











































