Bagi pria kelahiran 1964 yang telah memimpin First Media sejak 2009 lalu, teknologi adalah bisnis yang menantang. Meskipun lama berkecimpung di dunia bank, namun mantan pejabat senior di Citibank Indonesia ini mengaku tak canggung. Bahkan ia enjoy menikmati persaingan bisnis teknologi yang diusung First Media.
Menurutnya, untuk memenangkan persaingan di bidang internet broadband dan TV kabel digital, punya visi saja tidak cukup. Perlu keberanian untuk mengeksekusi keputusan dan mampu merangkul tim yang hebat. Bahkan, bagi Hengkie, unsur komersial itu masih harus dikombinasikan dengan idealisme.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat ini First Media punya akses internet broadband dan TV melalui jaringan kabel. Bisnis ini masih sangat besar. Di Jabodatabek saja ada populasi 5 juta rumah yang bisa digarap. Kami sendiri berharap bisa membangun 1,5 juta homepass di 2015 nanti. Sekarang baru 800 ribu di Jabodetabek. Untuk memperluas jaringan pelanggan kami lewat kabel tidak mudah.
Apa kendalanya?
Kalau cuma membangun Jakarta tidak terlalu sulit. Yang agak susah itu kalau di luar Jakarta, pembangunan fisik infrastrukturnya mesti benar-benar dikerjakan dengan baik. Butuh kontraktor berpengalaman. Di luar daerah, kapasitas kontraktornya kecil sekali. Ini masalah waktu kalau mau bangun besar-besaran.
Kalau bangunnya cepat, dapat revenue-nya juga cepat. Kalau bangun pelan-pelan, ya percuma. Bisa keburu overheat karena kelamaan. Di Surabaya saja harus bisa bangun 5 ribu sebulan, baru return on investment-nya baik. Sekarang saja baru seribu sebulan. Narik kabel itu melelahkan. Mungkin kalau kami berhasil menaikkan kapasitas kontraktor ini baru bisa. Sebab, kami sudah punya pengalaman di Jakarta, jadi tinggal replikasi.
Tak lama lagi, kami juga akan memperluas jaringan TV kami lewat satelit yang belum lama ini kami luncurkan. Mungkin November tahun ini sudah bisa mulai kami selenggarakan, tapi baru sebatas siaran televisi.
Selain internet dan TV, apa selanjutnya?
Yang sedang kami kembangkan adalah gabungan dari keduanya supaya bisa dapat nilai tambah. Konvergensi harus memberikan nilai tambah yang convenient. Semua hal kalau dibikin bagus pasti ada pelanggannya. Atraktif. Secara marketing, konvergensi ini penting. Nilai tambah di-create secara megah, seperti Hollywood. Secara teknologi bisa tapi kalau tidak di-create atraktif ya percuma.
Pelanggan pasti suka yang user friendly. Teknologi harus dibuat menyenangkan. Kalau itu bisa tercapai, saya percaya orang akan tergila-gila. Contoh saja Facebook, bisa jadi populer karena mudah dan menyenangkan. Prinsip itu yang selalu kita terapkan dalam melayani pelanggan. Kalau tidak ada nilai entertainment-nya juga percuma.
Televisi multichannel dan internet apa tidak terlalu cepat?
Tujuan kami menyediakan interaktivitas bagi konsumen, yakni TV interaktif dan internet. Di luar negeri sudah populer, tetapi di Indonesia infrastruktur belum mendukung. Konsepnya, menghubungkan platform TV dengan internet. Kami membawa nilai tambah melalui berbagai layanan dengan menghubungkan kedua platform itu, seperti HDTV (high definition), 3D (tiga dimensi), VOD (video on demand), dan TV internet.
Namun, untuk mempopulerkan teknologi baru itu perlu investasi besar, sering dinilai terlalu dini. Pasar belum siap menerima teknologi yang terlalu maju, namun kami mau menyiapkan infrastruktur. Setidaknya, kami memberikan pilihan kepada konsumen. Contohnya, investasi siaran HD menurut kami itu bagus karena konsumen menyukai.
Pasar siaran HD dan 3D masih kecil, kenapa First Media berani?
Saya kira filosofinya, apakah kita benar-benar mengacu kepada kebutuhan konsumen. Contohnya, siaran HD. Rumah tangga perlu TV ukuran besar karena nonton TV bersama keluarga.
Konsumen membeli TV kualitas HD agar mendapat gambar tajam, tetapi ternyata gambar tidak sesuai ekpektasi karena siaran TV yang ditonton masih berkualitas di bawah HD, misalnya standard definition (SD) dan analog. Konsumen jadi kecewa, malah semakin besar ukuran TV, gambar semakin buram.
Kami memberikan solusi melalui siaran HD dengan resolusi mencapai 10 Mbps yang artinya 5 kali lebih tajam dari SD, bahkan pada TV berukuran 60 inch sekalipun.
First Media beberapa kali meningkatkan kecepatan Internet secara drastis, alasannya?
Customer experience adalah kata kunci kami. Penggunaan Internet berkembang sangat pesat. Video streaming sangatlah populer, misalnya YouTube. Banyak video berkategori HD. Lalu umumnya ada 2-3 orang yang mengakses internet saat bersamaan dalam rumah tangga. Kami juga menyediakan TV internet agar konsumen bisa menonton konten internet di layar TV. Maka kecepatan internet minimal idealnya 3 Mbps.
Dalam dua tahun ini, kami meningkatkan kecepatan internet minimal dari 384 Kbps menjadi 1,5 Mbps, selanjutnya ke 2 Mbps dan seterusnya. Tugas kami menyediakan infrastruktur yang mumpuni, saat ini dari 1,5 Mbps sampai 20 Mbps. Soal harga, kami relatif murah. Kami mendahulukan edukasi konsumen daripada persaingan.
Untuk akses 1,5 Mbps sebentar lagi juga kami tinggalkan. Kami sensitif sama masalah kecepatan. Bukan masalah teknologinya, tapi bagaimana memenuhi ekspektasi. Di luar negeri, orang melihat HD masih complimentary. Ke depan, kami tak peduli lagi. Kita lihat saja, standard definition akan tergusur dan jadi HD only. Lihat saja 3 tahun lagi. Orang maju, teknologi makin murah.
First Media identik dengan konsumen kelas atas?
Itu dulu. Sekarang kami hadir di mana-mana. Kami punya produk bagus untuk semua kalangan. Harga juga terjangkau untuk akses internet pita lebar. Sekarang layanan kami sudah masuk rumah susun bahkan perumahan menengah. Jadi masyarakat luas bisa menikmati siaran HD dan internet berkecepatan tinggi. Hal ini penting untuk edukasi masyarakat luas, yakni merasakan layanan yang baik itu seperti apa.
Anda katanya suka bekerja ngebut?
Konsumen mau dilayani serba cepat, Internet mau yang lebih cepat. Instalasi mau pada hari yang sama. Kita ini hidup di zaman serba cepat. Zaman turbo, tentu CEO-nya pun mesti bergaya turbo. Gaya turbo atau lebih tepatnya mind-set turbo telah menjadi berkah bagi saya dan rekan-rekan. Awalnya terpaksa karena tuntutan situasi. Yang jadi berkah adalah kita jadi terlatih untuk praktis, fokus pada hasil dan mengandalkan kerja sama tim.
Ada berbagai rapat di kantor. Karena tuntutan waktu, pada setiap rapat harus ada keputusan dan keputusan apa pun harus bisa jalan. Simple thing. Yang penting masalah tidak berkepanjangan. Ini menjadi kultur yang baik, karyawan terbiasa membuat keputusan dan konsekuen menjalankannya. Tinggal masalahnya, mau apa tidak karyawannya mengikuti perkembangan. Perubahan perlu usaha. Mengubah mindset karena kebutuhan berubah. Kami berubah demi customer. So far, tiga tahun ini berhasil.
Kami juga beruntung punya mentor yang baik. Bapak Peter Gontha sebagai Presiden Komisaris kami adalah seorang yang kharismatik yang melatih kami bertindak cepat dan mantap. Tidak ada tugas yang terlalu berat menurutnya.
Bagaimana cara menanamkan kepedulian yang tinggi dari karyawan?
Karyawan peduli bila pimpinan peduli. Sebagai perusahaan jasa, kami yakini karyawan mesti bekerja dengan hati yang melayani konsumen. Sebagian besar karyawan kami berinteraksi dengan konsumen, seperti petugas customer service, pemasaran, instalasi, teknisi. Kuncinya pimpinan harus menjadi panutan, memberi contoh, yakni servant leader. Teori manajemen menyatakan pimpinan harus mempunyai arah yang jelas untuk perusahaan menjadi sukses. Namun yang lebih sulit umumnya adalah realisasinya.
Sukses itu tidak karena satu orang. Jajaran direksi kompak dan professional serta menjunjung integritas. Pegawai berkomitmen mendahulukan sukses perusahaan daripada kepentingan pribadi. Dengan kultur yang sehat ini kami bersama-sama bisa lari kencang. Kuncinya pimpinan mesti turun ke bawah.
Dari mana Anda mendapat filosofi seperti itu?
Ketika saya berkarir di Citibank Indonesia, pimpinan saya Bapak Barry Lesmana. Memang banyak tokoh besar yang bisa menjadi model, tetapi beliaulah model yang riil bagi saya. Selama 7 tahun bekerja bersama beliau, Citibank Indonesia mengalami zaman keemasan. Beliau seorang pimpinan yang demanding, tetapi guru yang baik. Saya belajar marketing, tren dan momentum. Kalau terjadi tren, ada momentum, harus bergerak cepat membesarkan bisnis. Bila tren terlanjur berganti, terlambat sudah.
Sebagai pimpinan, kita juga harus bisa berempati kepada karyawan yang sedang susah, seperti mengalami musibah atau kinerjanya biasa-biasa saja. Tantangan kita adalah bagaimana membangkitkan kembali semangat mereka. Itulah yang perlu kita bantu. Bagaimana menjadi perusahaan yang profesional berkarya, tetapi bisa membantu tanpa menimbulkan preseden yang tidak bagus. Dari hasil obrolan di internal, ternyata turun ke bawah itu berguna, baik secara kultur maupun kinerja perusahaan. Perusahaan jasa, kalau karyawannya punya hati untuk melayani, sudah pasti berhasil.
Apa visi dan impian yang ingin Anda capai?
Cita-cita saya banyak, untuk perusahaan, bukan pribadi. Alangkah dahsyatnya daya saing Indonesia bila masyarakatnya pandai memanfaatkan kekayaan informasi di dunia maya via internet. Kunci kompetitif adalah pendidikan bagi kecerdasan bangsa. Internet adalah sarana komunikasi yang efektif, kreatif, atraktif, dan murah. Kita harus mampu bersaing di tingkat global, setidaknya kami sudah membuktikan ini.
Impian saya juga banyak. Internet broadband dan TV multichannel adalah untuk semua rumah tangga, bukan produk elite. Faktanya penetrasi baru sekitar 20%. Kelebihan kami bukan di teknologi, tapi berani mengimplementasikan teknologi. Supaya kalau pelanggan senang, kami juga ikut senang.
(rou/ash)