"Bahkan ditemukan di kasus 2017 lalu anak sekolah ternyata salah satu faktor signifikan pemicu pikiran bunuh diri itu adalah bullying," jelas Benny Prawira, SPsi, Ketua Komunitas Pencegahan Bunuh Diri, Into The Light, saat ditemui di kawasan Jakarta Pusat.
Akan tetapi bully sering kali justru datang pada mereka yang butuh bantuan. Ibarat kata sudah berada di pinggir jurang tapi ada dua pilihan -- ditarik dengan memberi dukungan, atau menjerumuskannya dengan bully.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Nah ini yang harus kita fokuskan sebagai orang tua, teman juga, kenapa? Karena sering kali reman-teman yang suicidal awalnya itu bicara pelan-pelan, posting, orang bilang 'ah caper ngomong pengen mati kok nggak mati-mati ya'," sambungnya.
Benny mengingat kembali kasus yang sempat ramai di Facebook, 2017, di saat seseorang melakukan live saat memutuskan mengakhiri hidup dan netizen justru banyak yang menantangnya. Ini dikarenakan stigma 'caper' yang kerap terjadi padahal apa salahnya mencari perhatian agar bisa tetap hidup?
"Jadi kalau punya peer yang menunjukkan postingan gelap, profile picturenya hitam, tiba-tiba di WhatsApp left group kita, menunjukkan gejala kayaknya udah hopeless banget, coba reach out," sarannya.
Selain itu, ketika orang yang kita curigai mereka menulis atau memberi isyarat rasanya sakit, menjadi beban bagi orang lain, bisa jadi itu tanda lain adanya pikiran suicidal. Salah satu hal yang mencegah tindakan tersebut adalah keterhubungan maka segera tanya apakah dia baik-baik saja?
"Dan sosial media memberikannya (keterhubungan -red) tapi kita lebih sering hadir dan terhubung menggunakan stigma dibanding empati kita," tandasnya.
(fyk/fay)