Maraknya fintech ikut mendorong tingginya antusiasme masyarakat Indonesia akan layanan serta produk keuangan yang semakin inovatif dan memudahkan sebagai penunjang kehidupan sehari-hari.
Saat ini, OJK mencatat sudah ada 113 perusahaan fintech yang terdaftar dan berizin. Jumlah masyarakat yang paham tentang fintech pun mengalami kenaikan signifikan dari 26,34% pada 2016 menjadi 70,63% pada 2018 (Fintech Report 2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Riset: Korban Trojan Finansial Meningkat |
Di sisi lain, tingginya perkembangan dan penetrasi fintech menimbulkan tantangan baru, baik bagi masyarakat, pelaku industri, dan pemerintah, terkait kekhawatiran terhadap perlindungan data pribadi.
Survei Global Ipsos-Centre for International Governance Innovation (GICI) mencatat, 8 dari 10 netizen global kini lebih mengkhawatirkan keamanan privasi mereka dibandingkan tahun lalu.
Kekhawatiran itu terutama muncul pada netizen di negara berkembang, dan Indonesia menempati posisi ketujuh dengan persentase netizen yang khawatir terkait keamanan sebesar 86%.
Alie Tan, CTO dan Co-Founder platform kartu kredit digital dan pinjaman online (pinjol) Kredivo menyebutkan, perlindungan data pribadi konsumen di berbagai layanan berbasis teknologi di Indonesia jadi salah satu fokus yang harus dicermati bersama. Meningkatnya inovasi serta digitalisasi di era teknologi saat ini tentu harus diimbangi dengan sikap yang bijaksana dan mawas diri.
"Teknologi mampu membawa dampak positif yang signifikan bagi kehidupan sehari-hari kita, namun pada saat yang sama juga mampu memberikan dampak yang merugikan jika tidak dimanfaatkan secara bijak," ujarnya seperti dikutip dari keterangan resmi Kredivo, Sabtu (10/8/2019).
Sebagai perusahaan fintech, Kredivo dituntut untuk paham akan keamanan data pribadi para pengguna, sesuai dengan regulasi yang diatur Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Dikatakannya, kategori dan batasan data pribadi itu pun sangat luas. Misalnya mulai dari data kependudukan, hingga jejak pesan singkat dan riwayat belanja online seseorang di ponselnya, sehingga berbeda-beda pengkategoriannya. Ada yang mengkategorikannya sebagai data pribadi, ada yang tidak.
"Kredivo, sebagai layanan keuangan yang diawasi dan terdaftar di OJK tentu selalu merujuk pada regulasi OJK terkait batasan lingkup data pribadi para pengguna, tentang apa yang diperbolehkan untuk diakses, dan apa yang tidak diperbolehkan," ungkapnya.
Dia juga menambahkan, Kredivo sangat membatasi akses data pribadi pengguna secara ketat. Bahkan, pembatasan akses data pribadi pengguna juga berlaku bagi berlaku bagi karyawan internal dan tim engineer Kredivo sendiri.
"Di internal perusahaan, kami pun menerapkan akses yang sangat ketat dan terbatas terhadap data pribadi pengguna. Semua data pengguna, kami enkripsi dan tidak dapat diakses oleh pihak luar maupun dalam dengan mudah. Termasuk kami investasi pada teknologi yang melindungi dari serangan hack. Data yang kami analisa pun bukanlah tentang identitas pribadi mereka, melainkan lebih kepada pola perilaku konsumsi pengguna," jelas Alie.
Alie juga memberikan contoh serupa bahwa di negara-negara Uni Eropa, perlindungan data pribadi menjadi hal krusial dan telah diatur dalam General Data Protection Regulation (GDPR), sebuah regulasi hukum Uni Eropa yang mengatur secara rinci mengenai praktik penggunaan data pribadi milik warga Uni Eropa beserta dengan sanksi pelanggarannya.
Baca juga: Melihat Bagaimana Pinjol Dapatkan Data |
Merumuskan dasar perlindungan data pribadi memang menjadi pekerjaan rumah semua pemangku kepentingan terkait. Bahkan, Uni Eropa melakukan pembahasan mengenai peraturan tersebut selama 4 tahun lamanya hingga kemudian mulai diberlakukan pada Mei 2018.
"Indonesia sebagai salah satu negara dengan pengguna internet aktif terbanyak di dunia pun dapat melakukan hal serupa, guna menciptakan ekosistem digital yang aman dan lebih kondusif," tutupnya.
(rns/rns)