Penyebabnya bukan karena aksi si burung. Tetapi lantaran lubang-lubang di mana burung pelatuk menyimpan harta karunnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk diketahui istilah trypophobia diciptakan oleh seseorang dalam sebuah forum online pada 2005. Pun begitu para ilmuwan mengatakan kondisi tersebut sudah ada sejak lama.
"Kami tahu kondisi ini sudah ada sebelum di internet. Meskipun internet mungkin telah memperburuknya," kata Arnold Wilkins, psikolog University of Essex seperti dilansir dari Live Science, Senin (10/6/2019).
Dilanjutkannya trypophobia bukanlah gangguan mental. Pun begitu 10% orang yang mengalami sindrom ini merasa cemas, mual, takut, ngeri atau seperti ada sesuatu yang merayap di kulit mereka.
"Ini bisa sangat melemahkan," ujarnya.
Jadi mengapa fobia ini sangat umum? Para ilmuwan masih berusaha menjawab pertanyaan ini, tetapi banyak yang percaya bahwa keengganan itu bersifat adaptif evolusioner.
"Anda menghindari hal-hal yang cenderung membahayakan Anda," jelas Wilkins.
Dalam dokumentasi ilmiah trypophobia yang pertama kali diterbitkan dalam Psychological Science, Wilkins membandingkan gambar-gambar yang memicu trypophobia dengan gambar-gambar binatang beracun, seperti gurita cincin biru.
Dia dan rekan penulisnya menemukan distribusi bintik, benjolan atau lubang yang sama, serta tingkat kontras yang serupa dalam gambar. Para peneliti kemudian menyimpulkan bahwa fobia dapat berasal dari keengganan adaptif evolusioner untuk makhluk beracun.
Namun, dalam sebuah penelitian yang diterbitkan pada 2018 di jurnal Cognition and Emotion , para ilmuwan berpendapat bahwa fobia berkembang sebagai respons terhadap penyakit.
Soal ini Wilkins tidak begitu yakin. Menurutnya mungkin perlu beberapa saat sebelum para ilmuwan sepakat mengapa orang bereaksi sangat kuat terhadap foto burung pelatuk yang notabenenya tidak berbahaya.
(afr/krs)