Anggota Komisioner BRTI I Ketut Prihadi Kresna menyampaikan, pihaknya sudah menerima dokumen ringkas (brief paper) tentang Usulan Kebijakan Open BTS ini sebagai tindak lanjut dari diskusi yang berlangsung di markas ICT Watch pada 7 Januari 2016 antara Rudiantara, jajaran Kominfo dengan komunitas Open BTS.
Namun ditegaskan Ketut, pada prinsipnya regulator menerima usulan kebijakan Open BTS tersebut dengan tangan terbuka. Hanya saja sebelum sampai ketok palu terkait masa depan Open BTS ini, BRTI punya sejumlah pertimbangan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Di Undang-undang tersebut kan jelas mana yang penyelenggara mana yang bukan. Kalau pun konteks dikabulkan itu konteksnya adalah trial. Kita akan lihat dari terminologinya, dan dari trial itu juga akan kita lihat manfaat dari Open BTS ini, tapi tetap berpacu pada UU 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi," jelas Ketut saat dikonfirmasi detikINET, Kamis (18/5/2015) malam.
Pertimbangan kedua, adalah kembali lagi dari misi dasar Open BTS, yakni untuk menyediakan akses telekomunikasi di wilayah yang belum terjangkau. "Nanti kita bisa lihat, apakah benar di area itu tak ada layanan seluler. Kalau memang sudah sampai, ya buat apa?" Ketut menambahkan.
Ketiga, pertimbangan datang dari program Universal Service Obligation (USO), dimana juga punya misi untuk memboyong akses telekomunikasi ke daerah terpencil. BRTI berharap, jika nantinya Open BTS direstui maka juga dapat sinkron dengan program USO.
"Keempat dari azas manfaat. Jangan sampai jika Open BTS dibolehkan maka bisa merugikan operator lain," lanjut Ketut.
Syarat kelima terkait penggunaan frekuensi. Dalam usulan Kebijakan Open BTS yang dikirimkan, disebutkan bahwa teknologi ini bisa berjalan di spektrum 900 MHz dan 1800 MHz. Dimana di kedua rentang pita tersebut saat ini sudah digunakan oleh operator telekomunikasi.
Artinya, kata Ketut, jika komunitas Open BTS ingin menggunakan spektrum tersebut (900 MHz dan/atau 1800 MHz) maka juga harus meminta restu dengan yang memegang izin penggunaan spektrum tersebut, yakni para operator.
"Kan mereka sudah bayar (biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi). Jadi harus diizinkan pula oleh operator," sarannya.
Ya, itulah kira-kira lima pertimbangan BRTI saat membahas usulan kebijakan Open BTS yang direncanakan pada minggu depan. Selain dari internal BRTI, pembahasan ini juga bakal melibatkan Ditjen Sumber Daya Perangkat Pos Informatika (SDPPI)
"Semua aspek-aspek terkait dengan permohonan komunitas Open BTS ini akan dibahas. Tapi mungkin kalau misalkan diizinkan sebatas lingkup trial. Pak Menteri saat berkunjung ke kantor ICT Watch juga mengatakan, intinya kalaupun di-clear-kan, kita akan coba untuk trial. Tapi balik lagi, kalau trial, yang pasti untuk daerah yang belum terlayani oleh penyelenggara telekomunikasi. Nanti dari trial ini kemudian akan dievaluasi manfaatnya bagi berbagai pihak," pungkas Ketut.
![]() |
Usulan Kebijakan Open BTS Onno Dkk
Sebelumnya, Komunitas Open BTS yang digawangi Onno W. Purbo sudah menyerahkan dokumen ringkas (brief paper) tentang Usulan Kebijakan OpenBTS ini sebagai tindak lanjut dari diskusi yang berlangsung di markas ICT Watch pada 7 Januari 2016 antara Rudiantara, jajaran Kominfo dengan sejumlah penggiat Open BTS.
Dalam usulan kebijakan Open BTS yang dikirimkan ke menkominfo, dijelaskan bahwa Open BTS adalah teknologi dengan pendekatan open source dan open hardware. Ini berarti Open BTS sangat dimungkinkan untuk dikembangkan di dalam negeri, baik dari sisi software maupun hardware.
Teknologi ini melengkapi evolusi ekosistem jaringan seluler tradisional dengan mengusung sistem berbasiskan Internet Protocol (IP) dan fleksibilitas arsitektur software. Arsitektur OpenBTS terbuka bagi siapapun yang ingin melakukan inovasi dalam hal pengembangan aplikasi dan layanan terkini yang berjalan di atas teknologi selular terkini.
Dalam hal efisiensi, Open BTS pun dipercaya memiliki biaya pembangunan (capex) dan biaya operasional (opex) yang relatif lebih rendah ketika dijalankan dalam skala operasional kecil. Hal tersebut berdasarkan pertimbangan umum sebagai berikut:
- Sejumlah hardware yang menjadi inti jaringan (core network) dalam teknologi konvensional, kini diringkas ke dalam sebuah komputer server saja yang dapat melayani data dan suara.
- Sofware yang melayani inti jaringan berjalan di atas sistem operasi Linux terkoneksi dengan protokol TCP/IP dan UDP/IP dan dapat divirtualisasikan untuk dapat berjalan di cloud.
- Software proprietary yang selama ini digunakan pada jaringan GSM konvensional dapat diganti dengan aplikasi open source hingga dapat menekan tingginya biaya lisensi software.
Dengan demikian maka diharapkan pengembangan teknologi Open BTS di Indonesia dapat dilindungi dengan payung hukum yang memadai, dengan 3 (tiga) sasaran strategis secara umum sebagai berikut:
1. Membangun potensi dan keunggulan sumber daya manusia, penelitian dan pengembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) di Indonesia, khususnya dalam teknologi seluler.
2. Meningkatan penetrasi akses telekomunikasi pada wilayah USO dan daerah prioritas di Indonesia dengan pelibatan aktif masyarakat menggunakan teknologi yang terbuka.
3. Mewujudkan kemandirian dan ketahanan bangsa Indonesia dalam pemanfaatan dan pemberdayaan TIK, khususnya dalam era ekonomi digital dan persaingan pasar bebas.
Dalam brief paper tersebut juga disebutkan sejumlah fitur umum yang dimiliki oleh Open BTS:
- Berjalan di spektrum frekuensi 900 MHz dan 1800 MHz.
- Dapat melayani panggilan suara, VoIP, fitur SMS dan juga data 3G.
- Kompatibel dengan jaringan selular yang berbasiskan Session Initiation Protocol (SIP) ataupun IP Multimedia Subsystem (IMS).
- Secara teknologi, dapat interkoneksi dengan jaringan VoIP, PSTN, VSAT dan selular yang ada.
Dibahas pula soal implementasi Open BTS dimana dapat diposisikan sebagai berikut:
- Aspek Penggunaan Frekuensi:
o Menggunakan frekuensi yang tersedia pada wilayah yang masih belum terlayani. Layanan selular komersial atau blank spot.
o Dapat pula menggunakan kanal frekuensi yang tidak terpakai, semisal kanal 50 pada MHz dan kanal 611, 686, 711, 786 serta 836 pada 1800 MHz.
- Aspek Pemanfaatan Publik:
o Dapat menjadi obyek penelitan dan pengembangan teknologi telekomunikasi, baik di perguruan tinggi ataupun masyarakat umum berbasiskan jaringan tertutup.
o Menjadi sarana telekomunikasi sementara dalam kedaruratan (bencana alam), karena proses deployment yang mudah dan dapat disegerakan di titik ground zero.
o Menjadi layanan telekomunikasi swadaya masyarakat yang wilayahnya masih blank spot, untuk meminimalisir tingkat terisolirnya suatu wilayah tertentu.
- Aspek Tata Kelola:
o Tidak untuk melayani skala komersial (profit oriented) untuk publik.
o Tidak memberikan service level agreement kepada pengguna.
o Tidak dikenakan Biaya Hak Penggunaan (BHP) Frekuensi oleh Kemkominfo. (ash/fyk)