Komdigi Ikuti Jejak Australia Batasi Medsos untuk Anak, Tapi...
Hide Ads

Komdigi Ikuti Jejak Australia Batasi Medsos untuk Anak, Tapi...

Adi Fida Rahman - detikInet
Rabu, 19 Nov 2025 18:45 WIB
Menkomdigi Meutya Hafid
Komdigi Ikuti Jejak Australia Batasi Medsos untuk Anak, Tapi...Foto: Adi Fida Rahman/detikinet
Jakarta -

Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) resmi menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengamanan Tunas Bangsa (PP Tunas) pada Maret 2025 yang mewajibkan platform media sosial menerapkan pembatasan akses bagi anak di bawah umur tertentu. Kebijakan ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan aturan perlindungan anak di ruang digital paling komprehensif di dunia, sekaligus mengikuti jejak Australia yang lebih dulu melarang anak di bawah 16 tahun mengakses medsos.

Dalam sambutannya pada Anugerah Jurnalistik Komdigi 2025, Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid menegaskan bahwa PP Tunas bukan kebijakan populis mendadak. "Ini sudah didiskusikan sejak awal saya bertemu Bapak Presiden, bahkan sebelum saya dilantik. Awalnya fokus judi online, lalu saya sampaikan ada isu lebih besar di belakangnya: perlindungan anak dari bahaya digital," ujarnya saat acara Anugerah Jurnalistik Komdigi di Jakarta, Rabu (19/11/2025).

PP Tunas lahir setelah serangkaian konsultasi panjang dengan Unicef, Kak Seto, para psikolog anak, akademisi, NGO, hingga platform digital itu sendiri. Prosesnya dimulai sejak restrukturisasi internal Komdigi selesai dan berlanjut dengan ratusan pertemuan formal-informal.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mengapa harus dibatasi?

Menteri mengutip survei Statista (27 Juni-4 Juli 2025) yang menempatkan Indonesia sebagai negara dengan dukungan masyarakat tertinggi terhadap larangan medsos untuk anak: 82%, di atas Perancis (85%) dan Australia (79%). "Ini bukan populisme, tapi memang sudah menjadi keinginan masyarakat sejak lama," tegasnya.

ADVERTISEMENT

Cerita tragis yang banyak diungkap jurnalis pemenang anugerah menjadi bukti nyata urgensi kebijakan ini. Salah satunya kisah Genta Budiatama (akun Tata) yang menangis tersedu karena dihujat habis-habisan di media sosial hanya karena mengkampanyekan bahaya rokok bagi anak. Yang lebih menyedihkan, pelaku hate comment mayoritas adalah anak-anak dan remaja seusianya.

"Ini bukan anak orang lain. Bisa anak kita, cucu kita. Masalah ini tidak hanya di Jakarta, tapi juga di Sulawesi Selatan, di berbagai daerah, bahkan di seluruh dunia," kata Menkomdigi.

Bedanya Indonesia dengan Australia

Australia menjadi negara pertama yang memberlakukan larangan keras: anak di bawah 16 tahun sama sekali tidak boleh memiliki akun medsos. Undang-undangnya disahkan November 2024 dan mulai efektif dengan sanksi setelah masa transisi hampir satu tahun.

Indonesia memilih pendekatan berbeda dan lebih bertahap. Pertama usia minimal tidak dipukul rata 16 tahun, melainkan 13-18 tahun sesuai tingkat risiko platform. "Karena setiap tumbuh kembang anak, kesiapannya berbeda-beda," ujar Meutya.

Komdigi juga memberi masa transisi diberikan cukup panjang agar platform bisa menyiapkan teknologi verifikasi usia berbasis AI yang akurat.

"Kita tidak ingin mematikan inovasi. Kita yakin platform sudah punya teknologi AI yang mumpuni untuk membedakan anak dan dewasa. Masa transisi ini justru untuk memastikan implementasi berjalan mulus tanpa mengganggu kemajuan teknologi," jelas Menteri.

Meutya kembali menegaskan PP Tunas pada intinya memotong akses industri digital yang selama ini bisa menjangkau langsung sekitar 80 juta anak Indonesia (berdasarkan definisi anak dalam UU Perlindungan Anak sampai usia 18 tahun).

"Kita bukan anti teknologi. Kita ingin anak-anak bisa menikmati manfaat digital seperti belajar, berkreasi, dan bersosialisasi-tapi saat mereka sudah SIAP, sama seperti kita menunda anak menyetir mobil sampai usia tertentu," paparnya.

Menteri juga berulang kali meminta media untuk terus mengangkat kisah-kisah nyata anak terdampak negatif sekaligus kisah sukses anak yang memanfaatkan teknologi secara positif. Edukasi kepada orang tua (digital parenting), guru, dan anak sendiri masih menjadi PR besar.

"Karya jurnalistik teman-teman tidak hanya memberitakan, tapi juga membimbing masyarakat. Ini yang kita butuhkan ke depan sampai PP Tunas benar-benar efektif dilaksanakan," pintanya.




(afr/fyk)
Berita Terkait