Pengecualian Perlindungan Data Pribadi
Seperti halnya UU KIP, UU PDP adalah sebuah UU yang mengatur pengecualian terhadap kepentingan perlindungan data pribadi dengan sangat umum alias sangat sumir.
Inti alasan pengecualiannya terutama dinyatakan melalui frase "kepentingan umum seperti halnya penyelenggaraan pemerintahan negara" berikut varian-variannya, dan harus berdasarkan UU.
Selebihnya, kewenangan penentuan pengecualiannya diatribusikan begitu saja kepada para pelaksana legislasi menurut pedoman pengecualian yang sangat umum dan tidak jelas itu. Situasi tersebut sangat mungkin melahirkan berbagai penyalahgunaan yang disebabkan oleh diskresi menafsirkan dan/atau menerapkan aturan.
Dengan alasan kepentingan perlindungan data pribadi, penentuan mengenai mana informasi yang dapat diakses publik atau sebaliknya akan sepenuhnya ditentukan oleh kebebasan eksekutor legislasi untuk menafsir dan menuangkannya ke dalam bentuk regulasi. Ini lazim disebut sebagai kebijakan mengatur bersifat "intended indeterminacy at the lower level", bentuk lain dari kemalasan legislator.
Mengingat pedoman pengecualiannya bersifat terlalu umum, dan dari sini menyebabkan nihilisme pedoman mengatur secara yuridis dan kontekstual, salah satu kemungkinan yang dapat terjadi adalah penyembunyian informasi publik secara tidak sah terutama dengan alasan kepentingan perlindungan data pribadi.
Dalam perspektif hak, informasi publik yang rentan ditutup secara tidak sah dengan alasan perlindungan data pribadi adalah informasi publik yang mengandung salah satu elemen hak paling mendasar, yaitu subyek hak, sebagai pribadi, seperti halnya identitas pribadi pemegang hak atas tanah dalam sertifikat dan/atau warkah tanah.
Transfer informasi oleh badan publik kepada masyarakat dalam rangka pelayanan informasi publik bukan tidak mungkin diterapkan dengan sepenuhnya bergantung pada persetujuan subyek-subyek partikelir yang menyatakan diri sebagai pemilik data pribadi.
Alasan badan publik untuk menyembunyikan data pribadi yang secara hukum justru harus diungkapkan semakin memperoleh legitimasi rasional setelah mengingat ancaman pidana bagi setiap pemberi informasi yang soal sah-atau tidak sahnya belum dapat ditentukan secara pasti sebelum diputuskan pengadilan. Badan-badan publik pun berubah menjadi badan-badan partikelir.
Lebih konkrit, UU PDP bahkan telah menentukan kembali simpanan nasabah bank atau nama lainnya sebagai data pribadi, dan pada saat yang sama mengabaikan norma hukum pengecualian atas informasi simpanan nasabah bank sebagaimana telah dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi melalui salah satu putusannya.
Bercermin dari norma serta penerapan norma pengecualian informasi sebagaimana diatur UU KIP, dan sejauh mengenai informasi publik yang di dalamnya terkandung informasi pribadi, berlakunya UU PDP dapat dipastikan akan semakin mempersulit akses publik terhadap informasi publik yang secara faktual telah terjadi di bidang pelayanan informasi pertanahan.
Masalah inheren pengecualian informasi publik terutama terletak pada kriteria-kriteria pengecualian informasi yang dalam UU KIP dan UU PDP diatur dengan sangat umum untuk kemudian diserahkan penafsirannya kepada penguasa, gaya mengatur yang lebih berkarakter "rule of man" daripada "rule of law".
Kualitas legislasi tidak ditentukan oleh dicontek dari negara mana pengaturan perlindungan data pribadi, melainkan apakah substansinya dapat dijamin tidak merampas hak-hak publik atas informasi dengan alasan perlindungan data pribadi.
Eksekutor legislasi, terutama Presiden, oleh sebab itu patut disarankan untuk mengawasi secara ketat pembentukan peraturan-peraturan pelaksanaan UU PDP agar ketentuan-ketentuannya tidak mengorbankan hak-hak hukum siapa pun.
*) I Wayan Suka Wirawan adalah Advokat & Dosen Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Warmadewa Denpasar
Simak Video "UU PDP Segera Diberlakukan, Kominfo Imbau Masyarakat Tetap Jaga Data Pribadi"
[Gambas:Video 20detik]
(fyk/fay)