Kementerian Komunikasi dan Informatika lewat Menteri Rudiantara sendiri masih menunggu perkembangan dan menyatakan belum memungkinkan untuk melakukan blokir. Menurutnya, blokir terhadap Google adalah langkah terakhir. Pasalnya, masih ada kepentingan umum yang sementara ini didahulukan pemerintah.
Di lain kesempatan, praktisi keamanan cyber, Pratama Persadha, menjelaskan bahwa kemungkinan blokir memang terbuka. Namun dirinya yakin, pemerintah masih berhitung dengan akibat yang akan ditimbulkan nantinya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ditambahkan olehnya opsi pemblokiran sebagai jalan terakhir jelas tetap terbuka, apalagi bila Google tidak ada iktikad baik bekerja sama. Sampai saat ini Google masih enggan memberikan data pendapatannya ke Ditjen Pajak.
"Layanan Google yang paling banyak dipakai masyarakat di Indonesia adalah Gmail, YouTube, Blogger, Chrome, AdSense dan tentu saja Play Store pada Android. Tentu pemblokiran nantinya akan membuat masyarakat tidak bisa mengakses layanan tersebut," masih kata dia.
"Bila nanti langkah blokir terpaksa harus dilakukan, harus ada sosialisasi yang jelas dari pemerintah, untuk menghindari gesekan sosial nantinya," terang Pratama yang juga chairman lembaga riset keamanan cyber CISSReC.
Di banyak negara, terutama Eropa, Google juga dihadapkan pada masalah pajak yang serupa. Pemerintah Italia dan Inggris juga mengupayakan pembayaran pajak yang pantas. Google banyak meraih untung dari iklan dan trafik internet yang tinggi, sehingga ikut menaikkan nilai perusahaan.
Saksikan video 20detik di sini:
Menurut data dari Forbes, Google berada di peringkat dua sebagai perusahaan paling bernilai tahun 2016 dengan nilai merek mencapai USD 82,5 miliar dan jumlah pendapatan mencapai USD 68,5 miliar. Peringkat pertama masih diduduki oleh Apple.
"Dengan masalah pajak Google dan juga raksasa lain seperti Facebook, tentu pemerintah sudah tahu apa langkah strategis kedepan. Salah satunya adalah membangun layanan internet buatan lokal. Ada email, media sosial, layanan video, instant messaging, cloud dan masih banyak lagi," jelas mantan pejabat Lembaga Sandi Negara ini.
Pratama menambahkan, membangun layanan internet lokal sebenarnya tidak serumit seperti membangun industri lainnya. Yang paling penting menurutnya adalah keberpihakan pemerintah dalam hal dukungan regulasi dan modal. Sehingga masyarakat secara bertahap bisa mengurangi ketergantunan akan layanan asing sepetti Google.
"Kita bisa meniru langkah China yang memblokir. Namun juga harus melihat, keberanian tersebut dilakukan karena China sudah menyiapkan layanan serupa seperti Weibo, QQ dan Baidu. Indonesia jelas bisa, apalagi dipantik dengan sentimen nasionalisme dan dukungan layanan yang ramah pemakai lokal, saya yakin berhasil," terangnya.
Pratama berharap, dengan kondisi masyarakat Indonesia yang nantinya banyak menggunakan aplikasi layanan lokal, pemerintah bisa bertindak tegas terhadap pelanggaran pajak serupa Google saat ini. (rou/rou)