"Ini saat yang bagus untuk pergi dan melakukan hal lain yang lebih besar," kata Vesterbacka seperti dilansir media asal Finlandia, Helsingin Sanomat, Selasa (21/6/2016).
"Ada semangat yang bagus di Rovio. Bisnis game bertumbuh dan film (Angry Birds) berjalan dengan baik. Tidak ada masalah, justru sebaliknya," sambungnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada 2012, Vesterbacka pernah berkunjung ke Jakarta. Pria yang kerap memakai hoodie merah bergambar salah satu karakter Angry Birds ini berbagi pengalamannya mengembangkan dan mempromosikan game mobile kepada developer lokal.
"Kami memiliki pengalaman yang cukup lama dalam pembuatan game. 51 game-game keren, namun penjualannya tidak gemilang. Angry Birds adalah game ke-52 kami," kata Vesterbacka kala itu.
Maklum saja, game mobile saat itu baru sepopuler sekarang. Dikatakannya, saat Rovio mulai membuat game, saat itu belum ada toko aplikasi sehingga sangat sulit mendistribusikan game mereka. Karenanya, mereka harus mendelati operator dan pembuat handset sebagai jalan promosi game.
"Memang asyik membuat game, tapi tidak asyik bagi kantong," kelakarnya, mengenang saat itu.
Beruntung, setelah itu lahirlah toko aplikasi, sehingga terbuka kesempatan lebih luas bagi developer untuk mengontrol promosi dan pemasaran game mereka.
"Dulu semuanya dikontrol oleh para operator. Kalau satu orang tidak suka, ya sudah. Namun toko aplikasi mengubah itu semua," sebutnya.
Sayangnya, kejayaan Angry Birds tak bertahan lama. Setelah sempat bekembang, Rovio harus memangkas hingga 213 tenaga kerja tahun lalu. Rovio juga merugi USD 14,75 juta di 2015.
Meski demikian, Rovio masih menaruh harapan pada film Angry Birds. Dirilis Mei lalu ini menghasilkan pendapatan lebih dari USD 150 juta dan diharapkan memberi perubahan bagi Rovio. (rns/ash)