Life is Strange Episode 3: Ah, Butterfly Effect Bikin Penasaran Saja...
Hide Ads

Review Game

Life is Strange Episode 3: Ah, Butterfly Effect Bikin Penasaran Saja...

M. Alif Goenawan - detikInet
Selasa, 26 Mei 2015 09:29 WIB
Life is Strange Episode 3: Ah, Butterfly Effect Bikin Penasaran Saja...
Jakarta -

Dontnod Entertainment dan Square Enix akhirnya merilis episode ketiga dari Life is Strange. Bila dihitung-hitung dari tanggal terakhir episode kedua dirilis, episode berjudul Chaos Theory ini hadir lebih cepat dari biasanya, yakni hanya terpaut satu bulan.

Ya, developer asal Prancis itu memang merencanakan untuk merilis game episodik interaktif itu enam minggu sekali, meskipun sempat terjadi kemunduran jadwal rilis saat episode kedua. Bagi yang tidak tahu apa itu Life is Strange, detikINET akan menjelaskan secara singkat tentang game ini dan bagaimana dua episode sebelumnya terjadi.

Seperti yang dikatakan di awal, Life is Strange ini merupakan game episodik interaktif. Artinya, di setiap perjalanannya, gamer akan disuguhkan oleh berbagai macam pilihan interaktif, dimana setiap pilihan yang dipilih akan menuntun si karakter ke kejadian yang berbeda-beda.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bila diperhatikan gameplay Life is Strange memang mirip dengan game-game keluaran Telltale. Pun begitu, Life is Strange punya kelebihan dan keunikan tersendiri.



Kendati Anda disuguhkan oleh bermacam pilihan yang terkadang cukup sulit, namun pada kenyataannya Anda bisa mengulang lagi pilihan tersebut dengan mudah. Lho kok bisa? Ya, ini karena sang karakter utama, Max Clauffield, memiliki kekuatan yang tidak biasa, yakni memutar ulang kembali waktu. Untuk bisa melakukan hal itu, gamer cukup menekan tombol L2 atau L1, dan secara otomatis waktu pun akan bergerak mundur.

Kekuatan aneh tersebut tak sengaja ia dapati ketika hendak menolong seorang gadis yang tertembak oleh teman satu sekolahnya, Nathan Prescott di episode pertama. Gadis yang bernama Chloe itu tak lain merupakan teman masa kecil Max yang sempat terpisah sekian lama karena kepindahannya ke kota besar. Max yang memiliki hobi fotografi pun akhirnya memilih untuk kembali ke kota asalnya, Arcadia Bay untuk mengenyam pendidikan fotografi di Blackwell Academy.



Episode pertama banyak dihiasi oleh perkenalan beberapa karakter inti dan pendamping yang hadir di dalam game, serta kebimbangan Max akan kekuatannya. Max yang terkejut melihat sahabat lamanya akhirnya menceritakan bahwa ia memiliki kekuatan. Begitu pula dengan episode kedua yang sedikit lebih greget ketimbang episode pertama tadi. Semua hal yang gamer pilih di satu episode akan berimbas ke episode-episode berikutnya.

Lalu seperti apa episode ketiga Life is Strange? Simak review detikINET berikut ini.

Butterfly Effect

Fokus cerita di episode ketiga lebih menitikberatkan kisah persahabatan antara Max dan Chloe. Sementara kasus Kate yang terkena isu cyberbullying -- penyebaran video jebakan asusila -- oleh beberapa temannya di sekolah harus dikesampingkan. Jadi di episode kali ini Anda tak akan melihat penampakkan dari Victoria and the Gang, Kate, serta beberapa karakter pendamping lainnya.

Lagi-lagi, game dibuka dengan adegan Max terbangun dari tidurnya. Hanya saja, kali ini Max terbangun di malam hari. Max baru saja melalui hari yang berat, dimana Kate mencoba untuk bunuh diri dengan melompat dari atap gedung yang untungnya berhasil diselamatkan. Peristiwa itu pun memaksa ia harus bersaksi di depan kepala sekolah, bersama dengan beberapa orang lainnya, termasuk Nathan Prescott.

Di tengah-tengah kegalauan di malam hari itu, ia pun kemudian mendapat ajakan berupa SMS dari Chloe untuk menyusup ke dalam sekolah. Max dan Chloe memang telah berjanji untuk mengungkap semua kasus yang terjadi di Blackwell Academi dan Arcadia Bay, termasuk memecahkan misteri hilangnya Rachel Amber, teman Chloe yang juga seorang gadis populer di sekolah yang hilang begitu saja.



Untuk pertama kalinya dalam dua episode terakhir Anda akan merasakan suasana malam yang cukup mencekam di Blackwell Academy. Dengan bermodalkan penerangan secukupnya dari ponsel milik Max, Anda akan diajak berpetualang menjelajah seluruh isi sekolah di malam hari. Meskipun sesekali terdengar bunyi burung hantu dan benda jatuh, namun untungnya tidak terjadi hal-hal yang menyeramkan. Toh, ini juga bukan game horor.

Tak sekadar menyusuri lorong dan kelas, seperti di episode pertama dan ke dua, Anda juga akan menemukan lokasi baru di sekolah, yakni ruang Kepala Sekolah dan Blackwell Gym atau kolam renang.

Pemilihan lokasi di episode ketiga ini sebenarnya lebih kepada penggabungan episode pertama dan kedua, dimana selain berkutat di sekolah Anda juga akan bermain di sekitar rumah Chloe dan Two Whales Diner.



Lalu bagaimana dengan gameplay? Cukup sudah perkenalan di episode pertama dan sedikit bereksperimen di episode kedua. Karena sudah memasuki episode yang ketiga yang notabene sudah masuk setengah perjalanan, maka kali ini gamer harus benar-benar dituntut cermat dalam mengamati situasi dan bagaimana memanfaatkan kekuatan Max dengan benar. Kalau bisa dibilang, episode Chaos Theory ini lebih tricky dari episode sebelumnya.

Seperti misalnya, ketika Max dan Chloe mencoba untuk masuk ke ruang Kepala Sekolah dengan cara meledakkan pintu. Sontak alarm pun berbunyi, lalu apa yang harus Anda lakukan? Tentu saja dengan masuk ke dalam ruangan dan memutar kembali waktu sebelum pintu diledakkan. Lalu ketika Max harus kucing-kucingan dengan penjaga sekolah yang memergoki ada suara dari dalam sekolah. Sebenarnya ketimbang aksi, kekuatan rewind milik Max lebih sering digunakan untuk percapakan.

Kendati dari awal Anda akan disajikan oleh adegan-adegan permainan yang menarik, namun nyatanya klimaks justru terjadi di akhir-akhir cerita. Secara mengejutkan, tiba-tiba Max mendapat kekuatan lain yang tidak ia duga, yakni butterfly effect.

Anda tahu film The Butterfly Effect 2 yang tayang pada tahun 2006 silam? Bila diperhatikan kekuatan baru yang dimiliki oleh Max sama persis dengan apa yang dipraktekkan di film tersebut.



Secara tidak sengaja, ketika Max tengah memandangi foto masa kecilnya dengan Chloe tiba-tiba saja Max terhisap ke dalam foto dan kembali di masa-masa yang sama persis dengan apa yang terjadi di dalam foto. Max besar berada di dalam tubuh Max ketika umur 13 tahun. Semua yang ia lakukan di masa lalu ternyata mengubah keadaan di masa sekarang.

Kesimpulan

Fiuuh... bisa dibilang episode ketiga kali ini membuat detikINET semakin penasaran dengan apa yang terjadi di dua episode berikutnya. Bagaimana tidak? Awalnya kami berpikir bahwa game ini hanya memiliki jalan cerita yang begitu-begitu saja. Namun dengan kemunculan butterfly effect tadi, paling tidak ada sesuatu yang membuat kami berpikir apa yang kira-kira bakal terjadi selanjutnya?

Apakah nantinya Max akan mengekplorasi butterfly effect di episode berikutnya? Tidak ada yang tahu. Yang jelas, seperti yang sudah disampaikan, episode ketiga ini bisa dibilang menjadi ajang Anda untuk mengeksplorasi kekuatan rewind milik Max. Kalau istilahnya, Anda akan dilepas dan dianggap sudah terbiasa dengan jalan cerita.

Seperti biasa, Anda juga masih akan menemukan tugas sampingan (side quest), yakni memotret objek-objek yang berada di lingkungan tempat Max berada. Pun Anda akan diberikan petunjuk berupa foto yang masih berbentuk sketsa, tapi kali ini objek foto nyatanya lebih sulit ditemukan (tricky).



Akan ada satu kondisi dimana Anda harus menggunakan kekuatan rewind baru akhirnya bisa memotret si objek. Sedikit rumit, tapi detikINET akan berikan tips & trik bagaimana agar bisa memotret sebuah objek tersebut dan mendapatkan semua platinum.

Tidak ada yang berubah dari sisi tampilan grafis. Sangat disayangkan masih terjadi penurunan frame rate ketika transisi dari area satu ke area lainnya. Nuansa drama kehidupan remaja khas Amerika Serikat pun masih kental dengan alunan-alunan musik dari musisi-musisi indie.
Halaman 2 dari 3
(ash/ash)