AI Ciptakan Yesus Virtual Timbulkan Kontroversi

Rachmatunnisa - detikInet
Senin, 06 Okt 2025 07:15 WIB
AI Ciptakan Yesus Virtual Timbulkan Kontroversi Foto: Pixabay/jiansopi
Jakarta -

Kecerdasan buatan tengah merambah rumah ibadah dan aplikasi keagamaan, menawarkan tokoh-tokoh Alkitab virtual dan khotbah otomatis. Revolusi digital di ranah ini mengundang reaksi beragam di seluruh dunia.

Chatbot keagamaan dan perangkat digital berbasis agama saat ini semakin menjamur, menyediakan nasihat, penghiburan, dan bimbingan rohani di era teknologi yang berkembang pesat dan pola interaksi sosial yang berubah.

Salah satu aplikasi yang sedang populer, 'Text with Jesus', menawarkan ribuan pelanggan berbayar seolah-olah dapat mengajukan pertanyaan kepada Maria, Yusuf, Yesus, dan hampir ke-12 rasul. Menurut Stephane Peter, CEO Catloaf Software yang mengembangkan Text with Jesus, aplikasi ini bertujuan untuk mendidik pengguna melalui interaksi keagamaan yang interaktif.

"Ini adalah cara baru untuk membahas isu-isu keagamaan secara interaktif," kata Peter seperti dikutip dari AFP.

Meskipun dengan jelas menyatakan penggunaan teknologi AI, karakter virtual Musa dan Yesus tidak mengakui sifat buatan mereka ketika ditanyai secara langsung. Peter menjelaskan bahwa aplikasi tersebut berjalan pada versi terbaru ChatGPT, GPT-5, yang lebih baik dalam mengikuti instruksi dan menjaga konsistensi karakter, sekaligus lebih meyakinkan dalam menyangkal identitas bot-nya. Meski menuai kontroversi, aplikasi ini mendapat peringkat 4,7 dari 5 di App Store.

Tak hanya Text with Jesus, ada juga pelayanan online Catholic Answers yang mengalami secara langsung betapa sensitifnya integrasi AI ke ranah agaman ketika meluncurkan karakter animasi 'Father Justin' tahun lalu.

"Banyak orang tersinggung karena menggunakan karakter seorang pendeta," kata Christopher Costello, direktur teknologi informasi lembaga tersebut.

Dalam hitungan hari, organisasi tersebut menghapus gelar kependetaannya dan menggantinya dengan nama 'Justin'. "Kami tidak ingin menggantikan manusia. Kami hanya ingin membantu," kata Costello.

Ekspansi Digital Multi-agama

Agama-agama besar lainnya telah mengembangkan aplikasi serupa, termasuk Deen Buddy untuk Islam, Vedas AI untuk Hindu, dan AI Buddha. Kebanyakan dari aplikasi ini memposisikan diri sebagai antarmuka kitab suci, alih-alih inkarnasi keilahian sejati.

Nica, seorang Anglikan Filipina berusia 28 tahun, menggunakan ChatGPT hampir setiap hari untuk mempelajari Alkitab, meskipun pendetanya tidak menyetujuinya.

"Menurut saya itu lapisan tambahan. Saya berada di komunitas Kristen, dan suami saya serta saya memiliki mentor spiritual. Hanya saja terkadang saya memiliki pemikiran acak tentang Alkitab dan saya ingin segera mendapatkan jawaban," kata Nica.

Banyak otoritas agama mengkhawatirkan keterbatasan AI dalam hal spiritual. Rabi Gilah Langner mencatat bahwa hukum Yahudi memiliki banyak interpretasi yang membutuhkan wawasan dan perspektif manusia.

"Saya rasa kita tidak benar-benar mendapatkan hal itu dari AI. Mungkin saja akan sangat bernuansa, tetapi hubungan emosionalnya hilang," ujar Langner.

Ia memperingatkan bahwa AI dapat membuat orang merasa terisolasi dan tidak terhubung secara organik dengan tradisi yang hidup.

Di Katedral St. Patrick di New York, Amerika Serikat, umat paroki Emanuela mengungkapkan skeptisismenya. "Orang-orang yang ingin percaya kepada Tuhan mungkin sebaiknya tidak bertanya kepada chatbot. Mereka seharusnya berbicara dengan orang-orang yang percaya juga," ujarnya.

Perlu Kehati-hatian

Meskipun ada kekhawatiran, komunitas Kristen belum sepenuhnya menolak AI. Tahun lalu, Paus Fransiskus mengangkat Demis Hassabis, salah satu pendiri laboratorium riset AI Google DeepMind, ke akademi ilmiah Vatikan.

Beberapa pendeta telah merangkul eksperimen teknologi. Pada November 2023, Pendeta Jay Cooper dari Gereja Violet Crown City di Austin, Texas, menugaskan asisten AI untuk menyampaikan khotbah lengkap, yang memperingatkan jemaat sebelumnya.

"Beberapa orang panik, bilang kami sekarang gereja AI. Namun, kebaktian itu menarik pendatang baru, terutama penggemar video game yang biasanya tidak menghadiri gereja," kenang Cooper.

Sementara Cooper telah mempertimbangkan integrasi AI lainnya, ia belum pernah mengulangi lagi eksperimen khotbah AI.

"Saya senang kami melakukannya. Tapi itu tidak mencerminkan hati dan semangat dari apa yang biasa kita lakukan," katanya.

Meskipun aplikasi AI keagamaan telah diunduh jutaan kali, hanya sedikit pengguna yang secara terbuka mengakui penggunaannya. Teknologi ini terus berkembang seiring masyarakat bergulat dengan peran kecerdasan buatan dalam institusi yang secara tradisional berpusat pada manusia.

Seperti yang dicatat Peter, banyak anggota pendeta melihat AI sebagai alat pendidikan yang potensial, yang menunjukkan tempat teknologi dalam agama kemungkinan akan terus berkembang seiring adopsi masyarakat yang lebih luas.



Simak Video "Video: Apakah AI Bisa Dijadikan Referensi Belajar Siswa?"

(rns/afr)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork