Jurusan Ilmu Komputer kerap didambakan calon mahasiswa karena dianggap menjanjikan masa depan cerah. Namun seiring kecanggihan AI atau kecerdasan buatan, jurusan Ilmu Komputer dianggap semakin terancam, seperti yang terjadi di Amerika Serikat.
Di 2012, eksekutif senior Microsoft, Brad Smith, memberi tahu bahwa lulusan Ilmu Komputer di AS dapat mengharapkan gaji enam digit, bonus perekrutan besar, dan hibah saham langsung setelah lulus kuliah. Intinya adalah belajarlah membuat kode, maka karier aman dan menguntungkan menanti.
Sekitar 13 tahun kemudian, janji itu memudar. Tool pemrograman AI, yang dapat menghasilkan kode dalam hitungan detik, membentuk kembali pasar kerja teknologi tingkat pemula. Dengan kata lain, AI sudah mulai mampu melakukan sebagian yang dapat dikerjakan lulusan Ilmu Komputer.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Belum lagi PHK besar-besaran di raksasa seperti Amazon, Intel, Meta, dan Microsoft, membuat banyak lulusan Ilmu Komputer baru berjuang untuk mendapatkan pekerjaan pertama mereka.
Sebelumnya di awal 2010-an, pemimpin politik dan raksasa industri mendorong pengkodean sebagai keterampilan yang akan memperkuat prospek pekerjaan individu dan ekonomi nasional. Kampus memperluas program Ilmu Komputer untuk memenuhi permintaan, dan jumlah mahasiswa yang mengambil jurusan itu di AS meningkat lebih dari dua kali lipat antara 2014 dan 2024.
Namun saat ini, Federal Reserve Bank of New York melaporkan bahwa pengangguran lulusan Ilmu Komputer baru-baru ini mencapai 6,1%, lebih dari dua kali lipat tingkat pengangguran jurusan biologi atau sejarah seni. Untuk lulusan Teknik Komputer, tingkat pengangguran bahkan lebih tinggi, yaitu 7,5%.
Jeff Forbes, mantan direktur Ilmu Komputer di National Science Foundation, mengatakan ke New York Times bahwa hanya beberapa tahun lalu, lulusan Ilmu Komputer mungkin mendapat beberapa tawaran dari perusahaan papan atas. "Sedangkan sekarang mereka berjuang untuk mendapatkan pekerjaan apa pun," katanya yang dikutip detikINET dari AI.
Bagi lulusan, tantangannya tidak hanya terletak pada kurangnya lowongan. Peran tingkat pemula sering kali menjadi yang pertama diotomatisasi. Belum lagi perusahaan semakin mengandalkan sistem AI untuk memindai resume, menolak kandidat, dan melakukan penyaringan wawancara awal, sering tanpa pengawasan manusia.
Lulusan mencoba beradaptasi dengan menggunakan AI untuk membuat CV namun di sisi lain, perusahaan juga menggunakan algoritma untuk menolak. Akibatnya, beberapa lulusan menerima penolakan beberapa menit setelah melamar.
Lulusan Universitas Purdue Manasi Mishra berkisah bahwa dia melamar pekerjaan teknologi selama setahun dan hanya menerima satu tawaran wawancara, itupun dari restoran Chipotle.
Lulusan Oregon State Zach Taylor mengirimkan 5.762 aplikasi dan ditolak dari semuanya. Yang lain, seperti Audrey Roller dari Universitas Clark, menemukan bahwa email penolakan terkadang tiba hanya tiga menit setelah pengiriman.
Pengalaman ini telah membuat banyak orang merasa tertipu. Mahasiswa yang dulunya percaya coding adalah jaminan menuju stabilitas kini menghadapi pasar yang lebih mengutamakan AI daripada keterampilan pemrograman tradisional.
Seiring berjalannya waktu, pesan untuk calon mahasiswa ilmu komputer mungkin bukan lagi belajar coding saja tapi juga beradaptasi untuk bekerja berdampingan dengan AI, memahaminya, dan bersiap bahwa karier untuk pemula tak lagi terjamin.
(fyk/fay)