Di era dominasi media sosial, publik seolah menikmati kebebasan berekspresi yang luas. Namun, menurut Pengamat Teknologi Digital Agus Sudibyo, kebebasan tersebut tak lebih dari ilusi yang dikurung oleh algoritma dan kepentingan platform digital raksasa.
Salah satu ciri paling mendasar dari jaringan informasi saat ini, kata Agus, adalah kita berjejaring bukan di ruang publik yang netral, melainkan di "rumah orang lain". Platform seperti Facebook, Instagram, WhatsApp, YouTube, dan TikTok adalah sub-ekosistem tertutup yang dimiliki dan diatur oleh perusahaan besar seperti Meta, Google, hingga ByteDance.
"Kita merasa bebas, tapi sebenarnya tidak benar-benar bebas. Kita berinteraksi dalam aturan dan pengaruh platform tersebut," ungkapnya saat bedah buku Neksus di Perpusatakaan Kemkomdigi, Jakarta, Senin (21/7/2025).
Dengan kata lain, meski tampilannya demokratis, ruang digital hari ini adalah ruang yang diprogram, bukan netral. Setiap interaksi yang terjadi berada dalam pengawasan sistem algoritma yang telah ditentukan sebelumnya oleh pemilik platform.
Homofili dan Menyempitnya Pergaulan Digital
Fenomena homophilia, atau kecenderungan berkumpul dengan orang-orang yang berpandangan serupa, turut mempersempit ruang interaksi. Alih-alih membuka cakrawala, algoritma media sosial justru mempertemukan kita dengan mereka yang 'satu frekuensi'. Hasilnya? Dialog lintas pandangan kian langka.
"Ini menguntungkan karena memperkuat ikatan, tapi juga jadi masalah karena pergaulan kita justru menyempit," jelas pria yang menjabat sebagai Ketua Dewan Pengawas LPP TVRI,
Dalam konteks demokrasi dan keberagaman Indonesia, kondisi ini sangat berisiko. Jika grup WhatsApp atau linimasa media sosial kita hanya dipenuhi suara yang sama, maka itulah tanda bahwa kita sedang hidup dalam kepompong informasi, bukan ruang publik sejati.
Agus mengingatkan bahwa kebebasan berekspresi di media sosial tak jarang justru melahirkan apa yang disebut anarki digital, ruang komunikasi tanpa etika, tanpa filter, tanpa standar yang jelas.
Ia mengutip pemikiran Yuval Noah Harari penulis buku Neksus yang menyebut dunia digital sebagai 'public sphere' baru yang minim pengawasan. Semua orang bisa bicara, tapi sering kali tanpa empati, akurasi, atau kepedulian pada kepentingan publik.
"Ini bukan demokrasi, melainkan anarki," tegasnya.
Kondisi inilah yang membuat media sosial rawan disalahgunakan untuk mobilisasi massa, penyebaran provokasi, bahkan kampanye politik atau komersial yang manipulatif.
Platform digital kerap mengangkat narasi kolaborasi, inklusivitas, dan etika. Tapi menurut Agus, di balik itu semua, terdapat motif ekonomi yang sangat dominan. Setiap interaksi pengguna diolah sebagai user behavioral data, yang dimanfaatkan untuk kepentingan iklan dan produk melalui teknologi machine learning.
"Kolaborasi memang diperkuat oleh teknologi, tapi kita juga menjadi objek komersialisasi," katanya. Dalam konteks ini, apa yang tampak sebagai kebebasan dan pemberdayaan, sejatinya hanyalah efek samping dari tujuan ekonomi.
Agus bahkan mengutip konsep unintended consequence dari Adam Smith untuk menggambarkan paradoks ini, di mana kemudahan yang kita nikmati adalah hasil dari kepentingan komersial, bukan niat mulia.
Tanggung Jawab Platform yang Terabaikan
Dengan kekuasaan dan pengaruh yang sedemikian besar, platform digital seharusnya memikul tanggung jawab sosial yang setara. Agus menyebut adagium penting: "Big power, big money, big responsibility."
Namun, dalam praktiknya, tanggung jawab ini kerap diabaikan. Baik soal penyalahgunaan data, penyebaran disinformasi, maupun moderasi konten yang lemah, perusahaan teknologi besar sering lepas dari tuntutan etika yang semestinya menyertai kekuatan mereka.
Karenanya Agus Sudibyo menegaskan bahwa jaringan informasi di era media sosial bukan hanya tentang keterhubungan, tapi juga tentang ketergantungan. Algoritma mempersempit pergaulan, dan ruang digital makin riskan berubah menjadi arena anarki jika tidak diimbangi dengan regulasi, etika, dan literasi digital yang kuat.
Dalam konteks Indonesia yang majemuk, menjaga ruang dialog yang inklusif bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan.
"Kalau kita tak ingin terjebak dalam kepompong informasi, kita harus mulai membuka ruang berbeda, bukan hanya suara yang kita setujui," pungkasnya.
Simak Video "Video: Rencana Presiden Prancis Larang Medsos Bagi Anak di Bawah 15 Tahun"
(afr/fay)