Usai podcast antara Total Politik dan Pandji Pragiwaksono sebagai bintang tamu, ramai di media sosial X dengan istilah 'Asian Value'. Lalu apakah sebenarnya artinya?
Ungkapan Asian value tercetus usai pembawa acara podcast Total Politik yakni Arie Putra menyatakan bila Pandji sensitif ketika membahas tentang politik dinasti. Menurutnya politik dinasti adalah hak warga negara.
Tidak percaya dengan pernyataan Arie, Pandji mempertanyakan kembali hingga akhirnya rekan Budi Adiputro ini menyebut tentang 'Asian value'. Menurut keduanya, dinasti politik adalah hak asasi manusia dan sah-sah saja bila terjadi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Karena hal itulah, Asian value menjadi istilah yang banyak dipergunakan terutama di media sosial X (dulu Twitter). Hingga saat ini, Jumat (7/6/2024) setidaknya ada lebih dari 100 ribu cuitan yang membahas tentang Asian value.
Arti Asian Value
Asian value adalah serangkaian nilai-nilai yang dipromosikan sejak akhir abad ke-20 oleh beberapa pemimpin politik dan intelektual di Asia, seperti mantan perdana menteri Singapura, Lee Kuan Yew.
Mengutip Ensiklopedia Britannica, para pendukung Asian value biasanya percaya bila perekonomian di wilayah Asia Timur bisa berkembang karena kesamaan budaya masyarakat, khususnya warisan Konfusianisme.
Konfusianisme sendiri adalah sistem pemikiran yang berasal dari China kuno sebagai tradisi, filsafat, agama, teori pemerintahan, atau cara hidup.
Mereka yang percaya dengan Asian value menegaskan bila nila-nilai politik Barat tidak cocok untuk masyarakat Asia. Itu karena nilai-nilai tersebut mengandalkan individualisme dan legalisme yang berlebihan sehingga akan mengancam dan merusak tatanan sosial hingga dinamisme ekonomi.
Asian value yang sering dikutip adalah nilai-nilai terkait disiplin, kerja keras, berhemat, prestasi pendidikan, keseimbangan kebutuhan individu dan masyarakat, serta melakukan penghormatan terhadap suatu otoritas.
Meski baik, Asian value justru menimbulkan berbagai perdebatan di masyarakat Asia sendiri. Perdebatan ini menjadi elemen perjuangan yang lebih besar mengenai persaingan visi modern dan bagaimana masyarakat Asia harus diorganisir.
Intinya, Asian value memiliki berbagai poin penting, seperti:
- Pertumbuhan ekonomi yang signifikan berkaitan dengan Asian value.
- Pembangunan ekonomi harus diprioritaskan pada masyarakat yang sedang berjuang keluar dari ambang kemiskinan.
- Hak-hak sipil dan politik harus berada di bawah hak-hak ekonomi dan sosial.
- Kepentingan warga negara harus didahulukan dibandingkan hak-hak individu penguasa.
Poin-poin tersebut akhirnya ditetapkan dalam Deklarasi Bangkok tentang Hak Asasi Manusia (HAM) pada Maret tahun 1993. Deklarasi ini ditandatangani oleh 34 negara di Asia namun juga dikritik oleh organisasi-organisasi hak asasi manusia di Asia.
Deklarasi Bangkok 1993 ini dikeluarkan beberapa bulan sebelum Deklarasi Wina keluar pada Juni 1993 yang juga membahas tentang HAM. Deklarasi Wina sendiri diteken 171 negara PBB yang berisi konsensus, yang menegaskan universalitas, ketidakterpisahan, keterkaitan dan saling ketergantungan dari semua hak asasi manusia sebagai prinsip utama.
Deklarasi Wina juga menegaskan perlindungan hak asasi manusia sebagai tugas prioritas PBB, antara lain dengan merekomendasikan pembentukan Kantor Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB. Kedua deklarasi ini, yang disahkan pada tahun yang sama, telah melambangkan persaingan penafsiran hak asasi manusia di seluruh dunia, demikian dilansir dari laman WhatChinaSays.
Kritik pada Asian Value
Dalam makalah ilmiah "Asian Values" and Democracy in Asia yang disusun Takashi Inoguchi dan Edward Newman dari United Nations University, Asian values selalu dibahas dalam konteks dikotomi Timur-Barat. Hal ini meningkatkan kecenderungan untuk membesar-besarkan dan menggeneralisasi, dan membuat orang menyimpulkan bahwa perdebatan tersebut lebih bersifat politis daripada substantif.
Para penganjur Asian values mengagung-agungkan komunitas dibandingkan individualisme, keluarga sebagai basis masyarakat, berhemat, menghargai pembelajaran, kerja keras, tugas publik, kerja sama tim, mereka biasanya merendahkan argumen mereka dengan mengontraskannya dengan kehancuran keluarga, dekadensi, hedonisme, individualisme yang berlebihan, kurangnya kerja sama tim, kecerobohan, dan disiplin yang buruk di Barat.
Hal ini menunjukkan semakin kuatnya "cara Asia" dalam pemerintahan yang kuat, konservatisme sosial, dan ekonomi pasar bebas. Tema renaisans adalah hal biasa. Menariknya, beberapa pemimpin politik di Barat mulai "belajar dari Timur" dan menggunakan retorika agenda ini sebagai respons terhadap anggapan individualisme dan kemerosotan sosial yang berlebihan. Menghidupkan kembali nilai-nilai komunitas dan semangat masyarakat adalah tema yang populer.
Beberapa kritikus menuduh bahwa Asian value didasarkan pada stereotip budaya Asia. Sedangkan, para ahli teori feminis memandang nilai-nilai Asia adalah upaya untuk melegitimasi hierarki gender, kelas, etnis, dan ras yang tertanam dalam budaya Asia hingga hubungan sosial kapitalis yang lebih luas.
Di dunia politik, Asian values diperdebatkan apakah komitmen terhadap keadilan dan kesetaraan global dapat didasarkan pada hak asasi manusia.
Menanggapi hal ini, tokoh komunitarian seperti Charles Taylor menjelaskan Asian values dapat digunakan untuk mengkaji potensi dan tantangan dalam membangun konsensus global yang lebih inklusif, tanpa paksaan namun kuat tentang hak asasi manusia.
(jsn/fay)