Platform media sosial X, yang sebelumnya dikenal sebagai Twitter dan dimiliki oleh Elon Musk, mengalami serangkaian perubahan yang membingungkan penggunanya. Perubahan tersebut termasuk pemberian tanda centang biru, yang sebelumnya merupakan simbol verifikasi akun di media sosial, secara gratis untuk beberapa pengguna.
Seperti yang dilansir dari New York Post pada Minggu (7/4/2024), sejak diambil alih oleh Musk pada Oktober 2022, tanda centang biru di X hanya diberikan kepada pengguna yang membayar biaya sebesar Rp 126 ribu per bulan. Hal tersebut menyebabkan kebingungan, keluhan, dan banyak akun palsu yang berpura-pura menjadi orang lain, dengan tanda centang biru termasuk di dalamnya.
Namun, baru-baru ini, banyak pengguna melaporkan bahwa tanda centang biru telah muncul kembali di akun mereka, meskipun mereka tidak berlangganan layanan premium di X.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ke depannya, semua akun x dengan lebih dari 2.500 pengikut yang diverifikasi akan mendapatkan fitur Premium secara gratis, dan akun dengan lebih dari 5.000 akan mendapatkan Premium+ secara gratis," kata Elon Musk dalam pengumumannya.
Meskipun beberapa pengguna senang dengan pengembalian verifikasi, ada juga yang merasa frustrasi dengan keputusan ini. Salah satu contohnya adalah aktris Yvette Nicole Brown yang menulis di akun X nya.
"Apa yang terjadi? Saya tidak membayar untuk ini. Saya tidak akan membayar untuk ini. Kapan centang biru mulai beredar lagi?" tulis aktris Yvette Nicole Brown.
Di luar kontroversi tentang tanda centang biru, X juga menghadapi tekanan dari pengguna dan pengiklan terkait dengan moderasi konten serta penyebaran informasi yang salah dan ujaran kebencian di platform tersebut. Beberapa perusahaan besar seperti IBM, NBC Universal, dan induk perusahaannya, Comcast, bahkan memutuskan untuk menghentikan iklan mereka di X setelah laporan menunjukkan iklan mereka muncul bersama materi yang memuji Nazi. Respon Musk terhadap hal ini mencakup penggunaan kata-kata kasar dan menuduh perusahaan-perusahaan tersebut melakukan pemerasan.
X juga mencoba untuk menuntut pihak-pihak yang mendokumentasikan penyebaran ujaran kebencian dan rasisme di platform tersebut. Namun, upaya ini terganjal setelah seorang hakim federal menolak gugatan terhadap salah satu lembaga yang terlibat dalam dokumentasi tersebut, yaitu Center for Countering Digital Hate, minggu lalu.
*Artikel ini ditulis oleh Fadhila Khairina Fachri, peserta Program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
(fay/fay)