Cerita "Kartini" Traveloka tentang Dominasi Laki-laki di Bidang IT
Hide Ads

Cerita "Kartini" Traveloka tentang Dominasi Laki-laki di Bidang IT

Rachmatunnisa - detikInet
Minggu, 24 Apr 2022 17:30 WIB
Traveloka
Cerita
Jakarta -

Meski teknologi telah menjadi kebutuhan dan semakin banyak talenta lokal yang tertarik mendalami bidang Science, Technology, Engineering, and Mathematics (STEM), Indonesia masih mengalami ketimpangan yang cukup signifikan terkait SDM dari sisi gender di bidang tersebut.

Mengacu pada data Kementerian Perindustrian tahun 2018, hanya 12% perempuan yang berasal dari jurusan terkait STEM di Indonesia. Dampaknya, partisipasi perempuan dalam sektor pekerjaan terkait STEM pun menjadi terbatas. Secara khusus, di tahun yang sama, perempuan hanya mewakili 22% dari angkatan kerja di perusahaan teknologi.

Berdasarkan data dari Katadata bekerjasama dengan Investing in Women Asia, sebuah inisiatif oleh Pemerintah Australia, salah satu tantangan terbesar yang dihadapi perempuan untuk melanjutkan minat mereka di bidang STEM adalah karena masih melekatnya stigma bahwa laki-laki masih mendominasi sektor ini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Untuk mendobrak stereotype ini, diperlukan dukungan kolektif dari semua pihak, mulai dari keluarga serta role model perempuan yang dapat mendorong lebih banyak keterlibatan perempuan di bidang STEM. Di dunia kerja, perusahaan juga perlu mengutamakan nilai inklusivitas serta memberikan kesempatan kerja yang sama dengan menciptakan budaya kerja yang tidak bias gender.

Masih dalam rangka memperingati Hari Kartini 21 April, lima perempuan berprestasi di balik aplikasi Traveloka berbagi cerita dan pendapat mereka tentang dominasi laki-laki di bidang IT.

ADVERTISEMENT

Meski sekarang sudah lebih banyak perempuan menekuni bidang STEM, jumlahnya masih lebih sedikit jika dibandingkan dengan laki-laki. Faktor apa yang mendorong kondisi ini?

TravelokaFoto: Traveloka

Veronica Dian Sari, Data Engineer:

Ada banyak faktor yang mempengaruhi perempuan untuk enggan terjun ke sektor STEM walaupun sebenarnya banyak yang tertarik untuk menekuni bidang ini. Salah satunya yang mungkin masih kerap dialami yaitu stigma bahwa STEM merupakan bidang yang didominasi laki-laki dan hanya laki-lakilah yang bisa berprestasi di bidang ini. Stigma ini kemudian tertanam di benak perempuan-perempuan muda yang merasa ragu dan takut untuk menempuh pendidikan atau bekerja di bidang yang berkaitan dengan ini, misalnya informasi teknologi, meskipun mereka memiliki ketertarikan dan kemampuan untuk itu.

Maka dari itu, dibutuhkan lebih banyak sosok-sosok perempuan yang berani mengambil langkah dan menjadi inspirasi bagi para perempuan-perempuan muda lainnya, sehingga perlahan rasio antara jumlah laki-laki dan perempuan di sektor ini semakin seimbang. Hal ini lah yang mendorong saya untuk menjadi relawan pengajar topik terkait STEM di program holiday club NGO Generation Girl dengan peserta perempuan muda usia 12 hingga 18 tahun.

Selain itu, sebagaimana saya mendapatkan dukungan dari lingkungan kerja saya di Traveloka yang menjunjung tinggi kesetaraan gender, saya berharap semakin banyak lingkungan pembelajaran maupun pekerjaan di bidang STEM juga menerapkan inklusivitas dan objektivitas.

TravelokaFoto: Traveloka

Hayyu Luthfi Hanifah, Data Analyst:

Masih ada stigma melekat di masyarakat bahwa hanya laki-laki yang bisa bertahan dan berkembang di bidang STEM. Masih ada bias gender yang terpatri secara sistemik, misalnya kesempatan untuk perempuan bekerja dan belajar di bidang ini lebih sedikit dari laki-laki. Masih ada orang tua yang merasa ragu membiarkan anak perempuannya untuk menempuh pendidikan dan karier di bidang STEM.

Bias gender ini pun kadang menjadi tantangan yang datang dari diri saya sendiri. Saya kadang merasakan Impostor Syndrome dan memiliki keraguan untuk mengemukakan pendapat di pekerjaan saya karena khawatir logika dan kemampuan saya tidak setajam rekan kerja laki-laki.

Namun rekan satu tim dan lingkungan kerja saya di Traveloka selalu mendukung tanpa melihat gender saya sebagai perempuan. Hal ini lah yang perlahan kembali membangkitkan rasa percaya diri saya untuk memberikan opini.

TravelokaFoto: Traveloka

Nadhira Azzahra Hendra, Data Analyst:

Menurut saya faktor rendahnya partisipasi perempuan di sektor STEM karena stigma yang masih kuat melekat di masyakarat bahwa perempuan sebaiknya tidak bergelut di bidang di mana laki-laki dianggap lebih unggul. Selain itu faktor kesempatan untuk berkompetisi secara terbuka sepertinya juga masih menjadi penghalang bagi perempuan untuk berkreasi di sektor ini.

TravelokaFoto: Traveloka

Devina Ekawati, Machine Learning Engineer:

Faktornya mungkin bisa datang dari individunya. Mungkin masih banyak yang merasa takut, khawatir dan ragu untuk menekuni bidang IPTEK karena sektor ini identik dengan laki-laki. Di Indonesia, saya melihat bisa juga karena dipengaruhi budaya korporasi yang terkadang memperlakukan wanita dan pria secara berbeda dan lebih banyak memberikan kesempatan kepada pria dibandingkan dengan wanita.

Saya bersyukur selama bekerja di Traveloka saya tidak pernah mengalami halangan maupun bias gender, baik perusahaan maupun rekan kerja saya sangat suportif. Jadi tantangannya lebih ke diri sendiri, bagaimana kita bisa break the barrier dan bisa menunjukkan performance sesuai dengan apa yang diekspektasikan ke kita.

TravelokaFoto: Traveloka

Khusna Nadia, Data Warehouse Engineer:

Bagi saya faktor internal dan eksternal turut memengaruhi keputusan seorang perempuan untuk terjun ke bidang IPTEK ya, termasuk sektor IT. Faktor internal bisa berupa keraguan yang muncul dari dalam diri sendiri, misalnya apakah saya nyaman kuliah atau bekerja di sektor yang didominasi laki-laki, apakah saya mampu bersaing dengan laki-laki, apakah sebagai perempuan saya akan dilihat sebelah mata, dan sebagainya.

Sedangkan faktor eksternal seperti dukungan dari orang tua, lingkungan sekitar, baik di area sekolah, kampus, dan di dunia kerja seperti rekan kerja maupun atasan. Kemudian, kesempatan untuk mengikuti seminar atau talkshow yang membahas topik STEM dengan narasumber yang inspiratif dan menyenangkan juga dapat menjadi poin tambahan untuk memunculkan minat perempuan untuk terjun ke dunia STEM.

Selanjutnya: Dampak Ketimpangan Gender di Bidang Teknologi


Ketimpangan di bidang ini, kalau tidak bertahap diatasi dari sekarang, apa dampaknya?

Veronica:

Ketimpangan gender di bidang STEM tentu saja akan berdampak kepada kurangnya sudut pandang yang luas dan objektif dalam pengambilan keputusan. Saya percaya bahwa semakin banyak keragaman akan semakin memberikan point of view yang lebih kaya. Misalnya, jika semua data engineer adalah laki-laki, siapa yang akan memberikan opini yang solid terhadap kebutuhan perempuan.

STEM merupakan salah satu bidang yang terkenal didominasi oleh laki-laki, sehingga apabila lebih banyak perempuan yang terjun ke bidang ini, maka saya berharap juga terjadi "normalisasi" perempuan untuk berkecimpung di bidang-bidang lainnya yang masih didominasi oleh laki-laki.

Hayyu:

Meningkatkan proporsi perempuan di bidang STEM, khususnya di bidang IT yang saya geluti menjadi penting karena hal tersebut dapat menghilangkan stigma bias gender di bidang ini yang didominasi laki-laki.

Yang saya khawatirkan dengan rendahnya partisipasi perempuan sebagai IT developer adalah tidak terpenuhinya kebutuhan perempuan melalui produk atau inovasi yang diluncurkan, dikarenakan kurangnya perspektif perempuan dari dalam tim. Sehingga, teknologi yang dihasilkan juga akan mengalami bias gender dan kurang "ramah" terhadap konsumen wanita.

Nadhira:

Jika tidak diatasi dari sekarang, ketimpangan gender di sektor STEM akan terus ada dan stigmanya bisa semakin mengakar yang tentu saja akan memberikan tantangan lebih besar untuk perempuan generasi muda untuk terjun di bidang ini di masa mendatang. Padahal saya percaya kesadaran gender di semua bidang dapat memberikan manfaat ekonomi dan sosial yang besar.

Devina:

Jika tidak ada dorongan untuk semakin banyak perempuan terjun ke bidang ini, ketimpangan proporsi perempuan dan laki-laki di bidang IPTEK akan semakin besar dan tentu saja itu akan berpengaruh terhadap semakin sedikitnya kesempatan-kesempatan yang hadir bagi perempuan generasi selanjutnya. Tantangannya akan semakin besar.

Tapi saya yakin di era digital seperti sekarang ini, perspektif masyarakat kini semakin terbuka tanpa memandang gender. Jika kesetaraan sudah tercapai, perempuan dan laki-laki bisa bekerja beriringan untuk memberikan kontribusi positif kepada negara dan masyarakat.

Khusna:

Indonesia akan merugi jika kita tidak melakukan terobosan untuk mendorong perempuan menekuni bidang IPTEK. Jika tidak ada terobosan, bias gender akan terus menjadi halangan untuk perempuan Indonesia dapat maju dan berprestasi, yang nantinya akan membuat Indonesia tertinggal dari negara-negara lain.

Dengan adanya kesetaraan gender di bidang ini, perempuan mendapatkan kesempatan yang lebih luas terkait pilihan minat dan lapangan kerja yang sejalan dengan keinginan dan potensi mereka. Selanjutnya, akan semakin banyak tumbuh potensi-potensi baru yang dapat memajukan dunia science Indonesia, termasuk dari perempuan.

Selanjutnya: Cara Agar Lebih Banyak Perempuan Terjun di Bidang Teknologi

Bagaimana cara mendorong lebih banyak perempuan terjun ke bidang IPTEK?

Veronica:

Menurut saya, selain kesempatan yang perlu diperluas, perlu juga kegiatan atau gerakan yang memberikan informasi kepada orang tua, perempuan-perempuan muda yang duduk di bangku sekolah, dan juga masyarakat secara umum bahwa ada banyak kesempatan untuk perempuan terjun di bidang IPTEK. Perempuan bisa loh bekerja di bidang yang selama ini banyak dikuasai laki-laki.

Di kegiatan sampingan saya sebagai relawan di NGO Generation Girl, saya menemukan bahwa perempuan-perempuan muda usia SD hingga SMA memiliki ketertarikan besar terhadap dunia IT.

Hayyu:

Saya melihat saat ini sudah banyak inisiatif-inisiatif yang bertujuan untuk memberdayakan perempuan-perempuan muda untuk bisa terjun di sektor yang mereka minati, tanpa perlu mengkhawatirkan gender.

Inisiatif dan gerakan yang terstruktur dari berbagai pihak dapat menghilangkan bias gender di masyarakat dan pada akhirnya perempuan dapat memiliki kesempatan yang sama dan berprestasi di bidang teknologi.

Kemudian, menurut saya para perempuan yang sudah masuk di industri ini mungkin bisa lebih banyak mengikuti kegiatan-kegiatan yang mengajak dan menginspirasi perempuan-perempuan muda untuk bergabung dalam bidang STEM.

Jika perempuan-perempuan yang sudah terjun di sektor teknologi tapi cuek saja, dampaknya tidak akan terlihat. Kita harus mencoba untuk merangkul perempuan generasi muda agar mau berpartisipasi di bidang ini.

Nadhira:

Penting adanya role model perempuan yang dapat memberikan inspirasi kepada generasi muda untuk berani bermimpi dan menggapai cita-cita.

Hal tersebut juga bisa melalui publikasi-publikasi dari perempuan-perempuan inspirasional yang berhasil di sektor IT misalnya di industri yang sedang naik daun, seperti startup.

Dengan semakin banyaknya figur-figur perempuan yang bekerja dan meraih keberhasilan di perusahaan rintisan ini, maka perempuan-perempuan muda lainnya akan semakin terdorong untuk ikut menekuni sektor ini.

Di Traveloka, saya juga menemukan inspirasi dari para engineer perempuan yang bekerja di divisi tech ini. Mereka menginspirasi saya untuk terus gigih, mengembangkan kemampuan, berinovasi, dan memberikan kontribusi kepada perusahaan maupun masyarakat.

Devina:

Diperlukan peran serta dari berbagai pihak mulai dari hulu ke hilir untuk mendukung pemberdayaan perempuan di bidang IPTEK, misalnya dibukanya kesempatan belajar dan berkompetisi yang sama, serta peluang yang tidak bias gender di dunia kerja.

Jika sudah muncul perempuan-perempuan yang menunjukkan dirinya bisa bekerja di sektor yang masih didominasi laki-laki, saya rasa akan semakin banyak perempuan tertarik untuk menekuni bidang ini.

Selain itu perlu dukungan penuh dari tempat kita bekerja untuk bisa menumbuhkan iklim inklusivitas. Seperti contohnya di Traveloka saya merasakan sekali dukungan perusahaan untuk semua karyawan, tanpa melihat jenis kelamin, untuk dapat tumbuh dan mengembangkan diri demi kemajuan perusahaan.

Khusna:

Cara terbaik menurut saya adalah terciptanya lingkungan yang memang menjunjung kesetaraan untuk mendukung terciptanya inklusivitas. Institusi pendidikan, komunitas, dan dunia kerja bisa menunjukkan bahwa bidang IPTEK terbuka dan merangkul semua orang yang memiliki kemampuan untuk melakukan perubahan, tanpa melihat jenis kelaminnya.

Saya merasa beruntung tidak merasakan perbedaan perlakuan di divisi IT di Traveloka. Kita dinilai berdasarkan performance pekerjaan kita dan semua saling bahu membahu untuk mencapai tujuan perusahaan, bukan berdasarkan gender. Semua orang berhak dan dapat beropini dan berkarya, tentunya dengan dukungan penuh dari perusahaan dan rekan kerja.

Apa harapan kalian untuk para perempuan berkaitan dengan bidang teknologi?

Veronica:

Harapan saya ada lebih banyak partisipasi perempuan di bidang STEM, khususnya di IT. Saya juga berharap, di masa mendatang semakin banyak perempuan-perempuan unggul di sektor teknologi yang melahirkan berbagai inovasi yang bermanfaat bagi masyarakat, sehingga mereka dapat menjadi role model atau inspirasi bagi generasi muda untuk tidak takut mengejar cita-cita tanpa melihat gender.

Karena saya yakin, seiring berjalannya waktu, perkembangan teknologi akan semakin luar biasa dan membutuhkan sumber daya manusia yang lebih banyak lagi, sehingga peluang bagi perempuan juga akan semakin terbuka.

Hayyu:

Dengan upaya bersama dari berbagai pihak, saya berharap ke depannya rasio perempuan di bidang STEM akan sama dengan laki-laki dan kita bisa memberikan kontribusi positif terhadap pembangunan nasional.

Saya juga berharap perlahan stigma "jadul" yang masih ada di masyarakat dapat berubah, sehingga akan semakin banyak perempuan yang percaya diri dan menekuni bidang STEM.

Nadhira:

Harapan saya ada semakin banyak perempuan Indonesia yang berpartisipasi di bidang STEM, khususnya IT agar semakin banyak inovasi dan layanan-layanan yang pro-perempuan hadir di masyarakat.

Devina:

Saya berharap akan semakin banyak perempuan yang terjun di bidang IPTEK, utamanya di sektor teknologi. Saya yakin bahwa perempuan juga dapat menduduki posisi-posisi strategis, seperti Chief Information Officer atau Chief Technology Officer.

Dengan melihat adanya kesempatan bagi perempuan menduduki posisi tersebut, maka akan semakin besar pula keinginan perempuan-perempuan lain untuk bergelut di bidang teknologi sehingga dapat menciptakan keseimbangan antara proporsi laki-laki dan perempuan di bidang ini.

Khusna:

Saya berharap semakin ke sini, rintangan yang dirasakan perempuan untuk mendalami sektor IPTEK, utamanya IT, akan semakin sedikit. Harapan saya, rintangan yang dirasakan oleh perempuan hanya datang dari bagaimana ia sebagai individu berproses untuk berusaha selalu up-to-date terhadap teknologi yang berkembang pesat, dan bagaimana hal tersebut dapat diterapkan di lingkungannya, bukan dari tekanan dan stigma orang-orang terhadap dirinya sebagai perempuan.

Saya juga berharap agar para perempuan semakin berani mempelajari banyak hal dan selalu memperluas zona nyamannya karena adanya keyakinan bahwa semua hal bisa dipelajari. Perempuan dapat tampil dalam sektor ini, tidak untuk menyaingi laki-laki, tapi untuk berjalan beriringan mencapai tujuan bersama.