"Setelah 12 tahun, film panjang Indonesia enggak ada yang masuk ke Cannes (festival), Marlina akhirnya masuk," ucap Mouly dalam Creativepreneur Corner 2018 di Trans Luxury Hotel Bandung, Sabtu (3/2/2018).
Cerita Marlina masuk ke ajang perfilman bergengsi di dunia itu cukup panjang. Setelah dua film sebelumnya yaitu Fiksi (2008) dan What They Don't Talk About, When They Talk About Love (2013) masuk juga ke festival film lain, Mouly masih berhasrat untuk membuat film yang dapat menembus Cannes Festival.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hingga akhirnya, pada tahun 2014, Mouly bertemu dengan sutradara Garin Nugroho. Pertemuan itu membuat Mouly mendapat 'oleh-oleh' cerita bertema perempuan dengan bumbu pembunuhan dan kultur.
![]() |
"Kita ambil cerita mas Garin dan ambil ulang skenarionya," katanya.
Marlina nyatanya 'berjodoh' dengan Mouly. Bahkan ia mendapat hibah dari salah satu produksi di Prancis. Hingga akhirnya film selesai dan hasratnya terbayarkan, Marlina tembus ke Cannes Festival.
"Dan sejauh ini terjual di 40 teritori termasuk Amerika dan Kanada yang terbilang susah masuk karena biasanya harus berbahasa Inggris. Di Indonesia ini, film saya 150 ribu penonton di 70 layar Indonesia," tuturnya.
Film-film karya Mouly bukanlah film yang mengejar pasar. Ia menggunakan sisi idealismenya dalam setiap membuat film.
"Harus ada kejujuran, bikin film enggak bisa bohong. Jadi bagaimana membuat konsep di kepala bisa lebih luwes berkomunikasi dan mudah dimengerti dengan apa yang kita maksud," tuturnya.
![]() |
"Ketika merasa menang, bagi saya tetap haus, enggak merasa terpuaskan. Ketika puas dengan pemikiran begini, pesan begini, ketika ke orang baca dan ngerti, itu seni saya," kata Mouly menegaskan. (rou/rou)