Tim peneliti dari Cincinnati Children's Hospital Medical Center kemudian mengembangkan sebuah aplikasi yang dapat membantu membaca 'kode' tersebut. Namanya, Spreading Activation Mobile (SAM).
Saat digunakan, aplikasi ini akan merekam perbincangan kemudian menganalisis apa yang diucapkan yang bersangkutan, termasuk bagaimana cara bicara mereka, dengan menggunakan algoritma tertentu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bahkan aplikasi ini juga dilengkapi teknologi pelacak wajah yang dapat mengamati apakah seseorang lebih sering menundukkan wajahnya atau tidak. Sebab penelitian mengungkap, remaja dengan kecenderungan bunuh diri lebih sering menundukkan wajahnya ketimbang yang tidak.
Peneliti pun menjamin aplikasi bikinan mereka dapat menangkap petunjuk verbal maupun non-verbal yang berkaitan dengan kecenderungan bunuh diri seseorang hingga tingkat akurasi mencapai 85 persen.
Data yang dipergunakan dalam aplikasi ini sendiri diambil dari studi yang dilakukan peneliti sebelumnya (2013-2015) dengan melibatkan 379 partisipan. Beberapa di antaranya pernah berupaya bunuh diri atau didiagnosis mengalami gangguan jiwa, dan juga ada yang sehat.
Dari hasil survei tentang keadaan emosional mereka, peneliti dapat mengelompokkan apa saja petunjuk verbal dan non-verbal yang terlihat dari partisipan lalu dimasukkan ke dalam algoritma yang mereka persiapkan.
"Teknologi semacam ini memudahkan kita untuk melakukan identifikasi dini agar dapat membantu mengurangi upaya bunuh diri dan kematian yang diakibatkannya," ujar peneliti John Pestian seperti dilaporkan Cincinnati Enquirer.
Namun pria yang telah puluhan tahun mempelajari 'kode bunuh diri' ini mengingatkan teknologi tersebut tidak akan ada gunanya bila seseorang yang mempunyai masalah atau memiliki kecenderungan bunuh diri dibiarkan saja atau tidak diintervensi.
"Ini kan cuma mesin, kalau kita tidak bergerak untuk membantu mereka, ya sia-sia saja," tutupnya. (lll/afr)