Sekjen APJII Henry Kasyfi menilai, apa yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengejar pajak kepada Google sudah benar. Apalagi, mayoritas trafik internet Indonesia dikuasai oleh Google.
"Prinsipnya, APJII mendukung langkah pemerintah menerapkan pajak ke Google," ujarnya saat berbincang dengan detikINET, Senin (19/9/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebelum kasus pajak Google mengemuka, Ketua Umum APJII Jamalul Izza sebenernya pernah menyorot masalah ini sebelumnya saat pemerintah berencana mengeluarkan peraturan soal over the top (OTT).
Asosiasi itu pernah merilis data jika negeri ini kecolongan pajak iklan digital dari pemain OTT asing per tahunnya hingga Rp 15 triliun dari sekitar Rp 100 triliun yang dibawa ke luar negeri.
"Itu sebabnya, seluruh pemain di industri internet harus diperlakukan sama dan adil. Perlakuan yang adil juga diterapkan untuk pemain besar dan pemain kecil, pemain lokal maupun pemain global," pungkas Henry.
Pemerintah sendiri melalui Ditjen Pajak tengah mengejar kewajiban pajak dari Google Asia Pacific Pte Ltd yang berdomisili di Singapura. Setelah mendapat penolakan dari Google untuk diperiksa, langkah investigasi akan segera dilaksanakan.
Ditjen Pajak sebenarnya sudah mengajak komunikasi pihak Google, setelah penetapan Google diharuskan mendirikan Bentuk Usaha Tetap (BUT) pada April 2016 silam.
Google awalnya cukup kooperatif dan bekerjasama dengan konsultan pajak di Indonesia. Komunikasi berjalan baik pada pertemuan pertama. Negosiasi hampir menemui titik bahwa Google bersedia untuk membayar seluruh kewajiban pajaknya.
Namun untuk pertemuan kedua, Google mulai mengelak. Sampai akhirnya mengirimkan surat kepada Ditjen Pajak, yang intinya menolak untuk mendirikan BUT dan mengikuti proses pemeriksaan di Indonesia.
Padahal menurut Kepala Kantor Wilayah Pajak Khusus M Haniv, ada ketidakwajaran pembayaran pajak Google kalau dilihat dari skala revenue-nya yang sudah triliunan rupiah.
Haniv menjelaskan, pada 2015 lalu, pendapatan atau omzet Google dari Indonesia mencapai Rp 3 triliun. Bila melihat jenis usaha, maka labanya yang didapatkan biasanya berkisar sekitar 40-50%, sebab tidak terlalu banyak biaya pengeluaran. "Harusnya mereka dapatnya 40-50% saja labanya," ujarnya.
Haniv mengasumsikan laba yang diterima adalah Rp 1 triliun. Maka pajak penghasilan (PPh) yang harus dibayarkan adalah 25% dari laba yaitu Rp 250 miliar dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yaitu 10% dari pendapatan yaitu Rp 300 miliar.
Aktivitas usaha Google di Indonesia meningkat dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Sehingga asumsi pajak yang seharusnya dibayarkan dalam lima tahun adalah Rp 2,75 triliun. "Pajaknya PPN bisa Rp 300 miliar. PPh kalau Rp 1 triliun ya Rp 250 miliar," imbuhnya.
Meski asumsi, namun Haniv menilai potensi pajak yang seharusnya dibayarkan oleh Google bisa lebih besar dari nominal tersebut. Sementara aturan yang diberlakukan bahwa semua yang beraktivitas ekonomi di Indonesia harus membayar pajak. "Ini sama di seluruh dunia begitu juga Australia itu pun begitu," tegas Haniv. (rou/fyk)











































