“Information society,where knowledge is king, and information revolution,” Hamis McRae (The World in 2020 Power Culture & Prosperity: 1996)
Sejak Senin (30/3) malam, sebagaimana diwartakan detikINET, netizen di Indonesia riuh rendah membahas pemblokiran puluhan laman oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mengacu rekomendasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Dengan alasan bernuansa radikalisme, sekalipun masih debatable, laman tersebut dimatikan regulator. Sebagai premis pertama dari perspektif ilmu komunikasi, nyata nian bahwa masyarakat informasi kian banyak terbentuk di Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lama-lama, propaganda berbasis fatsun politik itu malah berevolusi menjadi kobaran fundamentalisme -- beberapa menggelorakan perjuangan ISIS. Entah ada kaitan langsung atau tidak, kepergian sejumlah WNI ke Suriah belum lama ini, kian meneguhkan efek sebaran informasinya.
Karenanya, manakala pengetahuan kian merajai benak publik, sekaligus informasi berubah demikian rupa, komunitas informasi idealnya menggiring kepada kebaikan, menghantarkan publik yang mencerna banyak data dan fakta sebelum bersikap-bertindak.
Faktanya, setidaknya menurut BNPT, informasi yang diproses bahkan menjadi pemicu tindak radikal/negatif yang merugikan, baik bagi pengelola laman ataupun bagi sebagian masyarakat Indonesia yang terinisiasi setelah mengaksesnya.
Maka, makin yakinlah kita semua, bahwa tak ada kebenaran absolut yang nirtanggungjawab. Revolusi informasi secanggih apapun di dunia ini, selama masih hidup berdampingan dengan lainnya, apalagi pada adat masyarakat timur, kiranya pasti menemui berbagai regulasi terkait.
Yang utama, dalam konteks pemblokiran semalam, tentu saja (lagi-lagi) UU Informasi Transaksi Elektronik No.11/2008. Bahwa undang-undang ini sebenarnya telah menggengam banyak hal terkait kepemilikan personal kita di dunia dalam jaringan/daring.
Baik itu nomor telepon (fixed phone/mobile phone hingga PIN ponsel cerdas), alamat surel, laman (internet website), akun media sosial dan pesan instan, hingga basis data di server, secara tidak langsung adalah milik pemerintah. Kapanpun, selama melanggar, bisa dijerat pasal.
Simak betapa lengkapnya pasal di sini. Jika terkait konten, ada pasal 27 (ayat 1 kesusilaan, ayat 2 perjudian, ayat 3 penghinaan, ayat 4 ancam/peras), pasal 28 (ayat 1 berita bohong, ayat 2 SARA), dan pasal 29 (menakuti pribadi).
Lalu, terkait akses, ada pasal 30 (ayat 1 akses illegal, ayat 2 tujuan:info, ayat 3 jebol pengaman). Terkait penyadapan, berikutnya ada pasal 31 (ayat 1 intersepsi sistem, ayat 2 intersepsi transmisi), kemudian interferensi data pasal 32 (ayat 1 dalam sistem, ayat 2 antar sistem, ayat 3 rahasia terbuka) serta interferensi sistem pasal 33 (sistem terganggu).
Belum cukup, ada soal malfungsi fungsi perangkat pada pasal 34 (produksi, jual, impor, distribusi, menyediakan), hingga tentang rekayasa data pada pasal 35 (manipulasi, cipta, ubah, hilang, rusak, sehingga data seolah-olah otentik).
Rentang yang luas ini juga diperkuat motif yang sama luasnya, yakni Sengaja (pelaku mengetahui dan menghendaki perbuatan; dan/atau akibatnya), dengan klasifikasi kesengajaan yakni Kesengajaan sebagai tujuan; Kesengajaan dengan keinsyafan kepastian; dan Kesengajaan dengan keinsyafan kemungkinan.
Selain motif sengaja, ada juga motif Tanpa Hak yakni Tanpa ada pijakan hak yang sah sebagaimana diatur dalam perundang-undangan dan atau perjanjian. Singkat kata, sebagaimana mengacu suspend laman radikal di atas, negara memiliki otoritas kuat dalam lingkup kebebasan yang tiada batas.
Belum Seberapa
Akan tetapi sesungguhnya, mengacu literatur yang penulis himpun, “cengkraman” tadi belumlah seberapa dibandingkan berbagai regulasi filtering dunia maya di negara lain yang satu tipikal Indonesia: Penduduknya jumbo, netizen-nya melimpah ruah.
Kita ambil kutub terekstrem yakni Tiongkok. Di negeri ini, terutama situs asing utama yang berjumlah sekitar 2.600 buah, memang sengaja diblokir guna menjaga kedaulatan pengetahuan masyarakatnya dari pengaruh yang dinilai membahayakan stabilitas.
Bahkan, ada sekitar 30.000 polisi cyber serta dua juta pemantau trafik internet bagi 564 juta netizen dari total 1,34 miliar penduduknya (penetrasi 42,1%). Meski diblokir, pemerintah berlaku adil dengan menumbuhkembangkan situs lokal yang tak kalah bagus.
Untuk pengganti situs mikroblogging Twitter misalnya, Tiongkok punya Sina Weibo. Renren menggantikan Facebook, Alipay menggantikan PayPal, Youku mensubsitusi Youtube, Tencent QQ Mail gantika Gmail, Baidu untuk Google, Amazon untuk Taobao, dst.
Menggunakan tajuk Great Firewall of China, para pemantau ini berada di bawah proyek yang berada di bawa kendali Ministry of Public Security yang dibandung sejak tahun 2001 dengan investasi awal USD 770 juta. Biaya demikian mahal untuk mensortir konten daring!
Dengan melihat paparan di atas, kiranya ada beberapa hal yang bisa menjadi catatan dari kasus pemblokiran ini. Pertama, diperlukan segera standarisasi konten negatif yang didasarkan pada konsensus bersama dari awal, dan termasuk saat akan eksekusi.
Kita pastinya tidak setuju, apalagi Indonesia negara demokrasi, jika kemudian hadir Great Firewall of Indonesia. Akan tetapi, sekali lagi, kebebasan absolut memang tidak ada, terlebih paparan negatif internet demikian dekat dan erat dalam genggaman generasi penerus kita.
Karena itulah, rasanya adil dan tak berlebihan, jika ada proses pengaturan konten di Indonesia yang sedikit banyak mampu merepresentasikan kepentingan bersama. Ketika kita sama-sama mendukung vonis mati bandar narkoba misalnya, kita tahu bahwa ada musuh bersama.
Sekalipun praktiknya tak semudah itu di dunia maya, namun jika diskusi antar pihak terus dilakukan, saling membuka diri, niscayalah akan ada satu pemahaman yang sama akan common enemy yang bisa membahayakan bersama, terutama anak-cucu kita.
Kedua, ketika kita tahu bahwa yang ideal dari masyarakat informasi adalah tidak ada pemblokiran, dimana penyaringan diserahkan kepada kedewasaan netizen, maka di saat itu pula kita harapkan peran aktif pemerintah dalam melahirkan berbagai situs lokal juara.
Akan menjadi nihil dan sia-sia jika misalnya ada pembatasan, atau sama sekali tidak ada pemblokian, namun di saat bersamaan adalah minimnya pilihan laman berkualitas. Kita bisa tengok Tiongkok yang melarang banyak situs asing seraya memberikan opsi sama baiknya.
Ketiga, kampanyekan terus (tanpa lelah) internet sehat, ajaklah orang sekitar untuk makin dewasa dan produktif saat berselancar. Seperti sudah sering diekspos, mari budayakan memproduksi konten di dunia maya dengan konsep THINK.
THINK adalah anagram untuk Truth (konten berisikan nilai kebenaran hakiki), helpful (apakah bermanfaat), Inspiring (sebaiknya bisa menginspirasi), Necessary (kalau tidak perlu-perlu amat lebih baik jangan diunggah), dan Kind (apakah jika ditulis akan membawa kebaikan?).
Semoga, dengan tiga langkah sederhana di atas tadi, kita berharap hadirnya manfaat hakiki komunitas informasi, yang saling membangun satu sama lainnya dengan pengetahuan yang bermanfaat, berjejaring, konstruktif, dan bukan malah menginspirasi netizen coba-coba apalagi sengaja berbuat onar!
*) Penulis, Muhammad Sufyan, Dosen Ilmu Komunikasi Telkom University. Yang bersangkutan bisa dihubungi di sufyan@ypt.or.id. (ash/ash)