Kategori Berita
Daerah
Layanan
Detik Network
detikInet
Kolom Telematika
Menghapus Batasan dengan Layanan Mobile
Kolom Telematika

Menghapus Batasan dengan Layanan Mobile


Penulis: Dimitri Mahayana - detikInet

Dimitri Mahayana (dok. pribadi)
Jakarta - Sekalipun awalnya asing, isu electronic channel (e-channel) lambat laun menggelinding familiar. Dan kini, selain mulai menjadi andalan industri, rata-rata kita menjadikannya sebagai keseharian.

E-channel antara lain fokus pada aplikasi elektronik yang membantu kehidupan kita, terutama dari sisi pembayaran keseharian. Mediumnya antara lain internet banking, mobile/SMS banking, kartu debit dan kredit, serta dompet digital (e-money).

Saat gagasan ini digaungkan tahun 2010, pembayaran konvensional terutama tunai dan simpan pinjam manual masih mendominasi. Masyarakat kala itu belum teryakinkan, terutama dari sisi jaminan keamanan dan kenyamaan yang setara layanan konvensional.
Β 
Akan tetapi, menurut penulis, seiring dengan gencarnya pemberitaan tentang manfaat teknologi tersebut, setidaknya industri terus berbenah sekaligus masyarakat pun teredukasi dengan baik sehingga alternatif transaksi ini mulai banyak dilirik.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hasilnya mujarab; Tahun 2012 -- dan ini terus berlanjut hingga sekarang -- transaksi melalui internet banking terus meroket. Bukan hanya mampu mengalahkan cara-cara manual, tapi juga sudah menyalip gabungan pembayaran kartu kredit, debit, dan ATM (lihat tabel 1).
Β 
Tabel 1. Perbandingan Nilai Transaksi


Tak hanya itu. Data yang dihimpun dari delapan bank besar di Indonesia tahun lalu juga mencatat bahwa jumlah pengguna SMS/mobile banking sudah mencapai 16,5 juta sekaligus mengalahkan jumlah kartu kredit di Indonesia 14,67 juta nomor.

Salah satu pemicu statistik ini adalah kian melek dan beraninya industri non perbankan ikut andil, semisal program gratis bea kirim uang lintas operator seluler (Telkomsel, XL, Indosat) periode 19 Juni hingga 31 Agustus 2013 di empat kota.

Program ini menindaklanjuti interoperabilitas ketiganya yang sudah diteken 15 Mei 2013, sehingga antar pelanggan sudah bisa transfer uang digital. Jika digabung dengan industri keuangan, pencapaian ini bakal makin gagah.

Simak tabel 2 di bawah ini. Bahwa kemauan edukasi dan investasi industri perbankan dan telekomunikasi dalam e-channel ini kian hari makin sungguhan, sehingga pengguna dan nilai transaksinya pun terus menjanjikan sebagai sebuah model bisnis baru.

Tabel 2. Indonesia E-Money Map
Β 

Namun di balik gempita ini, jika dikomparasikan data lain serta fakta aktual di lapangan, paparan progresivitas e-channel ini masih terbatas. Tetap lebih banyak elemen masyarakat Indonesia yang belum menikmati, atau bahkan belum mengetahuinya!

Mari coba ukur dari layanan ATM saja. Jika dibandingkan jumlah ATM dalam 100.000 penduduk di Indonesia, rasionya hanya 38: 100.000. Di Malaysia sudah 56 ATM, Singapura (60), Thailand (77), dan kita hanya menang dari Filipina (17).

Mengacu riset World Bank tahun 2011 berjudul Indonesia Financial Inclusion Index, mayoritas orang dewasa di Indonesia belum tersentuh layanan perbankan. Ditilik dari demografi, 52% rumah tangga di Indonesia belum punya simpanan di lembaga keuangan.

Dengan kata lain, layanan e-channel ini masih sangat ekslusif dan hanya segmen pendidikan dan tingkat ekonomi memadai saja yang mengaksesnya. Padahal statistik sejak zaman orba hingga sekarang menunjukkan, kelas menengah bawah lebih banyak di Indonesia.

Untuk itulah, dibutuhkan strategi lanjutan atas berbagai pencapaian bagus yang sudah dicapai di sektor e-channel ini. Sebagai sebuah negara kepulauan, yang sekali lagi didominasi kelas menengah bawah yang memiliki penetrasi seluler tinggi, strategi utama adalah terus memperluas akses.

Jika selama ini layanan finansial, terutama dari industri keuangan, selalu bertumpu pada keberadaan kantor cabang, hal ini harus makin dihapus ke depan. Industri harus sodorkan layanan meluas tanpa kantor cabang (branchless).

Tentu saja bukan menghapus kantor eksisting. Namun kita harus mampu menciptakan berbagai kanal pembayaran berbasis teknologi seluler, yang ditunjang kehadiran berbagai agen virtual, sehingga layanan finansial bisa menembus sekat apapun.

Di lain pihak, branchless banking ini juga perlu makin dipertangguh dengan aneka regulasi yang ada terutama dari Bank Indonesia. Sebab, hanya aturan kuat-lah yang bisa menciptakan sinergi erat antara industri, agen virtual, dan teknologi mobile. (Bersambung)

*) Penulis, Dr. Dimitri Mahayana merupakan chairman Lembaga Riset Telematika Sharing Vision/ www.sharingvision.com

(ash/ash)





Hide Ads