Justru mereka berkreasi habis-habisan dalam mengakali keterbatasan itu. Salah satu hasil kreasi user kita adalah kuliah twit atau kultwit. Mengapa kultwit ini merupakan tradisi yang sangat khas?
Live Twit dan Kultwit, Bedakah?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Walaupun live twit memberikan suatu informasi atau reportase, namun aktivitas ini tidak ada ubahnya dengan live blogging, alias bentuknya lebih kepada format reportase ala citizen jurnalism.
Namun, kultwit berbeda dengan live twit, dalam hal format penyajian dan konten informasi. Format penyajian kultwit adalah layaknya seperti seorang dosen yang mengkuliahi mahasiswanya, yaitu followernya sendiri.
Kultwit bukanlah citizen journalism, namun lebih kepada membagi ilmu pengetahuan atau wawasan yang kita miliki kepada publik. Penyajian kultwit umumnya tidak real time, dalam arti ia membahas event yang sudah lama lewat, dan menambahkan penafsiran atau tanggapan terhadap event tersebut.
Perbedaan Akun Twitter Barat dengan Kita
Jika kita perhatikan, akun Twitter dari Amerika Utara dan Eropa Barat, pada umumnya sangat jarang menggunakan format kultwit untuk sharing pengetahuan kepada followernya.
Jika mereka ingin membagikan tips atau pengetahuan tertentu, maka biasanya mereka memberikan short link dari blog atau web mereka kepada followernya. Mereka akan menyediakan tulisan lengkap, layaknya artikel di majalah, pada blog atau web mereka.
Hal ini tentu saja berbeda dengan kita, dimana kultwit dilakukan begitu saja pada keterbatasan 140 karakter twitter. Kultwit tersebut terkadang diberikan nomor twit, dan bukannya tidak mungkin bisa sampai ratusan nomor. Ada kesan, bahwa untuk sebagian user, menggunakan twitter dirasa lebih nyaman untuk membagikan pemikiran mereka, dibandingkan menggunakan blog.
Hal ini karena memang menggunakan twitter, kita tidak perlu merancang tulisan yang utuh, seperti artikel koran, yang memang memakan waktu untuk membuatnya.
Budaya Texting dan Twitter
Walaupun ini masih terbatas pada asumsi, namun tampak ada kecenderungan orang Indonesia yang sangat kuat budaya oralnya, untuk menggunakan Twitter. Di sini, ada kemungkinan bahwa terjadi mIgrasi budaya oral kepada budaya texting.
Apa itu budaya texting? Ini adalah budaya untuk menjadikan ragam bicara/oral, menjadi suatu tulisan yang tak terstruktur. Tulisan tersebut dapat dipahami, namun bukan seperti karangan/artikel utuh dalam pengertian ilmu bahasa yang konvensional. Tentu saja, budaya tulis sangat berbeda dengan texting.
Dalam penulisan artikel yang konvensional, ada ketentuan tata bahasa dan narasi yang harus dipenuhi, agar menjadi karangan yang utuh. Sementara, dalam texting dengan twitter, aturan tata bahasa dan narasi utuh tersebut dapat di-bypass dengan mudah. Hal tersebut tidak jauh berbeda dengan budaya oral yang massal sifatnya, misalnya dengan menggosip atau bergunjing.
Tentu saja, tulisan ini tidak bermaksud menghakimi, apakah budaya texting atau tulis yang paling benar, atau apakah menggunakan Twitter atau blog/web yang paling benar.
Berhubung dunia maya adalah dunia tanpa batas, yang menentukan mana yang benar dan yang salah tentunya adalah masing-masing user sendiri. Sebab, merekalah yang berhak menentukan, mana fitur dari web yang sesuai dengan keperluan mereka, apakah itu blog atau Twitter.
![]() | Tentang Penulis: Dr.rer.nat Arli Aditya Parikesit adalah alumni program Phd Bioinformatika dari Universitas Leipzig, Jerman; Peneliti di Departemen Kimia UI; Managing Editor Netsains.com; dan mantan Koordinator Media/Publikasi PCI NU Jerman. Ia bisa dihubungi melalui akun @arli_par di twitter, https://www.facebook.com/arli.parikesit di facebook, dan www.gplus.to/arli di google+. |