Dikatakan Difa Kusumajayani, pemilik TNT Software House, selama ini bank perlu berpikir seribu kali untuk mengucurkan kredit usaha karena menganggap game development dan software house tidak memiliki agunan yang bisa menjadi jaminan usaha.
Terlebih, mayoritas game development dan software house cenderung bukan perusahaan besar yang memiliki investasi mahal. Investasi mereka hanya ide kreatif. "Apa yang kita jual? Yang kita jual itu ide kreatif. Dan menurut bank itu tidak bisa jadi jaminan. Pokoknya modal awal kita benar-benar mati-matian," ujarnya kepada detikINET usai seminar Arkadivia yang berlangsung di ITB, Sabtu (4/4/2009) petang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat ini, TNT, tengah menyiapkan proyek untuk mendukung UKM serta satu situs tentang Kota Bandung. Celakanya, tak hanya masalah dana yang menjadi kendala. Untuk pengurusan legal status mereka harus melalui proses yang sangat rumit dan mahal.
Padahal, mereka tidak bisa menjual produk kreatif mereka tanpa badan usaha yang terdaftar di pemerintah. "Minimal CV, kita harus punya. Sudah sebulan lalu TNT didaftarkan. Biaya yang dikeluarkan mencapai Rp 8 juta. Padahal sudah ada buyer yang mau beli produk kita. Terpaksa, kita harus menunggu proses legal status selesai," tukas gadis yang masih kuliah di Jurusan Informatika ITB ini.
Senada dengan Difa, Arief Widhiyasa, Direktur Agate (game development - red.) juga mengaku proses pengurusan legal status perlu waktu lama dan biaya yang tidak sedikit.
Namun dirinya dan tim Agate fokus untuk menghasilkan karya-karya kreatifnya. "Kalau kita menunggu proses legal status bisa tidak jalan. Kita tetap urus itu, tapi kita juga tetap terus mengeluarkan produk baru. Sejak Agate berdiri setahun lalu, kita sudah urus masalah legal status tersebut," tandasnya.
(afz/ash)