Menanggapi itu, bos Xiaomi Indonesia Alvin Tse mengatakan setiap lembaga riset, baik itu IDC, Canalys, Counterpoint maupun GfK punya angka sendiri-sendiri. Pihaknya menghargai metodologi yang digunakan masing-masing.
Baca juga: Bos Xiaomi Blak-blakan Soal Nasib Pocophone |
Dalam menyikapi semua laporan. Alvin tidak melihat pada posisi yang ditempati Xiaomi. Paling penting baginya adalah apa yang menjadi kelemahan dan kekuatan Xiaomi untuk dijadikan panduan ke depan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salah satu poin yang dilihatnya sebagai kelemahan saat ini adalah sisi offline. Di bawah kepemimpinannya, Alvin akan melakukan sejumlah perubahan dan perbaikan.
![]() |
Dia berencana akan menambah lebih banyak lagi toko offline di Tanah Air. Saat ini mereka baru ada 51 Mi Store yang tersebar di sejumlah wilayah di Indonesia. Kebanyakaan lokasi Mi Store berada di pusat perbelanjaan strategis.
Agar lebih menjangkau lebih luas lagi, rencananya Xiaomi Indonesia akan membuka Mi Authorized Store tahun depan. Toko ini punya perbedaan dari Mi Store yang sudah ada.
"Mi Store dijalankan Xiaomi, sementara Mi Authorized Store akan dioperasikan partner. Mi Store berada di pusat perbelanjaan, sedangkan Mi Authorized Store nanti seperti toko ponsel yang kerap ditemukan di jalan-jalan," jelas pria berusia 30 tahun itu.
"Jadi Mi Fans punya banyak pilihan untuk mendapatkan produk Xiaomi, ada Mi Store di mal, Mi Authorized Store di luar mal, Mi.com dan partner online. Dan kesemuanya menghadirkan pengalaman berbelanja yang sama," pungkas Alvin.
![]() |
Untuk diketahui dalam laporan IDC terbaru, Xiaomi berada di posisi kelima dengan market share 12,5%. Mereka tersalip pemain baru Realme yang berada di posisi empat dengan pangsa pasar 12,6%.
Pada Q3 2018, Xiaomi menduduki posisi kedua dengan pangsa pasar 24%, artinya ada penurunan yang cukup signifikan. IDC melihat penyebabnya dikarenakan produk black market yang membanjiri pasar sehingga mempengaruhi penjualan ponsel resmi Xiaomi.
(afr/fay)