Harga yang ditawarkan Netflix memang menarik. Tak sampai Rp 200 ribu, pengguna bisa mendapatkan banyak konten film menarik yang bisa diakses dari berbagai perangkat. Namun ada satu hal yang masih mengganjal bagi sejumlah orang. Ya, di Netflix belum ada subtitle Indonesia.
Memang hal ini terlihat sepele bagi mereka yang sudah terbiasa dengan bahasa Inggris. Namun bagi sebagian orang lainnya, kehadiran subtitle Indonesia di setiap film yang ditontonnya itu ibarat bumbu pelengkap yang wajib ada.
Kekurangan ini juga dianggap Chief Lembaga Riset Sharing Vision Dimitri Mahayana jadi poin kecil nan krusial yang tak bisa dilupakan begitu saja oleh Netflix jika mau menggaet pelanggan lebih banyak di Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Kelemahan lainnya, tampaknya sampai saat ini belum ada subtitle terjemahan bahasa Indonesia. Mayoritas calon pelanggan peka dengan hal ini. Bila Netflix menggunakan subtitle bahasa Indonesia maka akan lebih menarik,” lanjutnya.
Pay TV dan OTT
Dimitri kemudian mengomentari terkait kelangsungan bisnis TV berlangganan (pay TV) pasca kedatangan Netflix cs. Dimana berdasarkan penilaian dosen ITB ini, tanpa diancam Netflix pun bisnis pay TV sebenarnya sudah amat berat. Apalagi dengan tren dibundel dengan broadband.
"Maka sebenarnya bisnis Pay TV memerlukan satu model bisnis baru dan terobosan inovatif,” kata Dimitri.
Secara makro, masuknya Netflix memang memperkuat posisi pemain Over The Top (OTT) dan menambah tekanan terhadap industri telekomunikasi, internet dan IT nasional.
Alhasil, pemerintah perlu mempunyai satu kebijakan yang jelas akan roadmap industri telekomunikasi, internet dan IT nasional terhadap tren-tren seperti ini.
"Agar lebih proaktif dan terencana. Dan semestinya sesegera mungkin diimplementasikan. Now or never! Bila dibiarkan, maka lima hingga 10 tahun ke depan sangat mungkin adalah era the death of telecommunication & IT business di Indonesia. Kekuatan nasional dalam bidang telekomunikasi dan IT akan remuk dan sirna. Dan berganti dengan kekuatan global,” tegasnya, mewanti-wanti.
Isu lainnya yang juga patut diperhatikan pemerintah adalah terkait sensor dari film-film yang didistribusikan oleh penyedia layanan asal Amerika Serikat tersebut. Terlebih sebelumnya, Wakil Ketua Lembaga Sensor Film (LSF) Dody Budiatman mengatakan, perangkat hukum dan perangkat pelaksana yang harusnya bisa digunakan LSF untuk menyortir serbuan film asing yang wara-wiri di internet, belum siap sama sekali.
Jadi singkatnya, meski sudah resmi mengudara di Indonesia, film-film yang didistribusikan lewat Netflix belum disensor sama sekali oleh badan sensor film nasional.
"Hal ini sangat berisiko. Pemerintah harus proaktif mengatur dan mengawasi sensor. Harus dipastikan film-film yang ada tidak berisikan konten negatif. Baik pornografi, radikalisme, terorisme, separatisme, sadisme dll. Selain kriterianya jelas, pengawasan juga harus jelas, termasuk penindakan bila terjadi pelanggaran,” Dimitri menandaskan. (ash/fyk)