Agentic Commerce: Babak Baru Belanja Online dan Tantangan Kepercayaan
Hide Ads

Agentic Commerce: Babak Baru Belanja Online dan Tantangan Kepercayaan

Fino Yurio Kristo - detikInet
Kamis, 27 Nov 2025 22:40 WIB
Lazada
Agentic Commerce: Babak Baru Belanja Online dan Tantangan Kepercayaan. Foto: Lazada
Jakarta -

Lansekap belanja online tengah mengalami pergeseran mendasar. Zaman tidak lagi sekadar berada dalam fase digitalisasi perdagangan konvensional, melainkan memasuki babak baru yang dikenal sebagai Agentic Commerce. Ini adalah evolusi belanja online di mana interaksi tak lagi hanya bergantung inisiatif manual manusia, melainkan dibantu entitas digital yang dikenal sebagai agen AI.

Mengacu pada definisi Amazon Web Services, agen kecerdasan buatan (AI) bukan sekadar perangkat lunak pasif yang menunggu perintah. Mereka memiliki kapabilitas untuk berinteraksi, mengumpulkan data secara mandiri, dan menggunakannya untuk mengeksekusi tugas spesifik guna mencapai tujuan yang ditentukan.

Perbedaan fundamental antara paradigma lama dan baru terletak pada eksekusi. Dalam model tradisional, manusia menetapkan tujuan dan melakukan tindakan langkah demi langkah. Namun, dalam era Agentic, manusia menetapkan tujuan dan agen AI-lah yang memilih serta mengeksekusi tindakan terbaik secara independen untuk mencapainya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hal ini menandakan pergeseran dari sekadar 'pencarian' menuju paradigma 'penyelesaian masalah'. Agentic Commerce adalah perubahan di mana perdagangan ditenagai oleh agen cerdas yang bertindak sebagai pakar pribadi, baik bagi konsumen yang mencari produk maupun penjual yang mencari pertumbuhan.

Perubahan ini pun diantisipasi oleh industri toko online, termasuk Lazada. "Agentic commerce merupakan babak baru dalam e-commerce. Dengan memanfaatkan AI untuk mengubah kompleksitas menjadi kesederhanaan, kami menjadikan pengalaman belanja dan penjualan lebih mulus, efisien, dan tepercaya dibanding sebelumnya," kata Carlos Barrera, Chief Executive Officer Lazada Indonesia.

ADVERTISEMENT

Indonesia sebagai pusat ekonomi digital

Transformasi menuju Agentic Commerce ini terjadi di tengah momentum pertumbuhan ekonomi digital eksplosif di Asia Tenggara, dengan Indonesia sebagai pusat. Laporan terbaru Google, Temasek, dan Bain & Company menguak bahwa ekonomi digital Indonesia diperkirakan menembus USD 100 miliar (sekitar Rp 1.672 triliun) tahun 2025 ini. Angka ini naik USD 10 miliar dibandingkan tahun sebelumnya, menegaskan posisi Indonesia sebagai mesin pertumbuhan utama kawasan.

Secara regional, Asia Tenggara tengah berlari kencang dengan total Nilai Transaksi Bruto (GMV) yang diproyeksikan melampaui USD 300 miliar. Indonesia menyumbang porsi terbesar dari kue pertumbuhan tersebut, didorong oleh tiga sektor fundamental yaitu e-commerce, jasa keuangan digital, dan adopsi teknologi AI.

Namun, kompetisi tidak lagi dapat dimenangkan hanya dengan perang harga atau logistik konvensional. Kunci kemenangan di masa depan terletak pada sinergi antara kecanggihan teknologi dan kepercayaan konsumen.

LazadaFoto: Lazada

Fenomena memilih AI daripada mesin pencari

Perubahan perilaku konsumen adalah indikator awal dari pergeseran zaman. Data survei platform otomasi pemasaran Omnisend terhadap 4.000 orang dewasa di pasar maju (Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Australia) pada Juli 2025 mengungkap bahwa dominasi mesin pencari konvensional mulai terkikis.

Sekitar 50% pembelanja online kini beralih menggunakan Generative AI untuk membantu belanja setidaknya sebulan sekali, dengan AS memimpin tren penetrasi hingga 53%. Konsumen tak lagi hanya mencari, mereka menggunakan AI untuk riset produk mendalam (57%), rekomendasi produk yang terpersonalisasi (45%), dan analisis perbandingan untuk mencari penawaran terbaik (40%).

Fenomena ini dijelaskan oleh Marty Bauer, pakar e-commerce dari Omnisend. "Googling sering kali berarti iklan, konten SEO, dan puluhan tab terbuka sebelum Anda menemukan apa yang Anda butuhkan. Sebaliknya, alat AI generatif cenderung memberi Anda jawaban singkat yang serupa dengan jawaban seorang teman yang berpengetahuan, sehingga memudahkan untuk memahami mengapa pembeli akan memilih salah satu daripada yang lain dalam keputusan pembelian," cetusnya.

GenAI mampu menyaring kebisingan informasi, merangkum poin krusial, dan mengarahkan pengguna langsung ke tujuan. Menariknya, seperempat (25%) responden kini percaya bahwa saran produk dari ChatGPT lebih unggul dibandingkan hasil mesin pencari Google.

Dampak adopsi agen cerdas ini juga menyentuh aspek psikologis. Sekitar 27-29% konsumen menyatakan intervensi AI membuat belanja online terasa lebih ringan. Di AS, 12,5% pembelanja mengaku lebih mungkin membeli produk jika didukung validasi AI, sementara di Australia angkanya mencapai 13,9%.

Konsumen dan penjual masih meragukan AI

Namun demikian, transisi menuju Agentic Commerce tidak berjalan tanpa hambatan psikologis. Dari sisi konsumen, survei Omnisend mencatat bahwa 85% konsumen masih memiliki setidaknya satu kekhawatiran serius. Konsumen ingin dibantu memilah informasi, namun masih takut menyerahkan 'dompet' ke mesin.

Sekitar 32% pembelanja masih enggan membiarkan AI menyelesaikan proses transaksi secara otonom. Kekhawatiran utama meliputi privasi dan keamanan data (43%), kesalahan interpretasi preferensi (37%), hingga saran yang tidak relevan akibat bias algoritma (35%).

Keraguan serupa terjadi di sisi penjual. Riset Lazada bersama Kantar bertajuk 'Menjembatani Kesenjangan AI: Persepsi dan Tren Adopsi Penjual Online di Asia Tenggara' yang melibatkan 1.214 penjual di Asia Tenggara menunjukkan fenomena menarik. Sebanyak 68% penjual sudah mengenal AI, namun tingkat penerapan nyata baru mencapai 37%.

Di Indonesia, terdapat kesenjangan sebesar 10% antara penjual yang mengaku menerapkan AI (52%) dengan penerapan nyatanya (42%). Penjual menghadapi dilema di mana 89% mengakui AI meningkatkan produktivitas dan 93% percaya AI menghemat biaya jangka panjang, namun 61% masih meragukan manfaat keseluruhannya. Selain itu, 64% menyebut biaya dan waktu implementasi sebagai hambatan, dan 75% mengakui karyawan mereka lebih memilih perangkat lama yang sudah dikenal.

Inilah tantangan terbesar bagi platform e-commerce modern, yaitu menjembatani kesenjangan antara kapabilitas teknologi tinggi (high tech) dengan kebutuhan akan kepercayaan tinggi (high trust).

Strategi Lazada: memadukan kepercayaan dan kecanggihan AI

Menghadapi perubahan dan realitas yang terjadi, toko online menerapkan berbagai strategi, termasuk dalam hal ini yang menjadi contoh adalah Lazada. Pertama, mereka membangun kepercayaan melalui LazMall dan mengerahkan pasukan agen cerdas untuk efisiensi. LazMall adalah kanal premium terkurasi di dalam platform Lazada yang dirancang khusus memberikan pengalaman belanja aman dan terpercaya.

LazadaAplikasi Lazada. Foto: Lazada

LazMall hadir untuk mengatasi ketakutan konsumen akan penipuan. Strategi kanal terkurasi ini dilaporkan valid pada Festival Belanja 11.11 (10-13 November 2025), di mana Lazada menyebut LazMall mencatat pertumbuhan lebih dari 23 kali lipat dibandingkan hari biasa. LazMall disebut mal virtual terbesar di Asia Tenggara dengan lebih dari 32.000 brand, dengan empat jaminan:

  • 100% Produk Asli: Jaminan uang kembali jika produk terbukti tidak orisinal.
  • Jaminan Pengembalian 30 Hari: Proses mudah dan gratis, baik melalui penjemputan kurir atau drop-off.
  • Jaminan Pengiriman Tepat Waktu: Kompensasi jika terjadi keterlambatan pengiriman.
  • Ekosistem Perlindungan Menyeluruh: Melibatkan seleksi ketat penjual (Brand Flagship Store & Distributor Terotorisasi), deteksi proaktif berbasis AI untuk menghapus produk pelanggar HKI, serta kolaborasi strategis dengan pemerintah dan pemilik merek melalui portal Intellectual Property Protection (IPP).

Nah di samping fondasi kepercayaan tersebut, Lazada mengerahkan 'pasukan agen cerdas' untuk memenuhi kebutuhan efisiensi, yang disebut sukses membantu saat momen 11.11 kemarin.

"Kami sedang beralih dari penggunaan AI sebagai alat pendukung menjadi kopilot yang mampu memahami, menganalisis, dan bertindak secara real time," ujar Carlos Barrera. Integrasi ini dilaporkan membawa dampak nyata melalui beberapa agen spesifik untuk membantu pembeli maupun penjual:

LazadaAmelia Tediarjo, Head of Business Growth and Operations Lazada Indonesia. Foto: Lazada
  • AI Lazzie: Didukung Large Language Model Alibaba (Qwen), AI Lazzie telah menjadi asisten belanja berbasis percakapan. Pada fase uji coba, fitur ini meningkatkan pesanan sebesar 42% dan interaksi AI 50% lebih banyak. Fitur SmartStack-nya juga otomatis menggabungkan promo terbaik bagi konsumen.
  • Agen Pengembalian Dana: Menyederhanakan sengketa purnajual dengan verifikasi bukti dan negosiasi otomatis. Lebih dari 35% permintaan refund kini ditangani otomatis dalam hitungan menit dengan akurasi di atas 99%.
  • Agen Logistik: Memberikan solusi instan masalah pengiriman dalam 20 detik (sebelumnya butuh 45 menit) untuk transparansi real time.
  • Agen Product Listing: Membantu penjual membuat judul, deskripsi, dan gambar produk. Menghemat rata-rata 11 jam kerja dan meningkatkan page views hingga 180%.
  • Agen Pemasaran: Menyesuaikan penempatan iklan secara dinamis berdasarkan intensi pembeli untuk mengoptimalkan ROI penjual.

Menjembatani kesenjangan adopsi AI

Lazada menyebut teknologi hanya berguna jika diadopsi dengan baik. "Lazada menyadari bahwa AI akan menjadi bagian integral dari ekosistem e-commerce. Oleh karena itu, Lazada mengembangkan berbagai fitur AI untuk menjawab kebutuhan penjual, mulai dari membuat daftar produk, mengelola hubungan dengan pelanggan, hingga meningkatkan konvensi penjualan," ujar Amelia Tediarjo, Head of Business Growth and Operations Lazada Indonesia.

Untuk membantu transisi ini, Lazada juga meluncurkan Online Sellers Artificial Intelligence Readiness Playbook sebagai panduan bagi penjual. "Sebagai pemimpin di industri eCommerce Asia Tenggara, kami berupaya menjembatani kesenjangan ini dengan menyediakan solusi AI yang mudah diakses bagi setiap penjual tanpa memandang ukuran bisnis atau kemampuan penjual," sebut James Dong, CEO Lazada Group.

Hasilnya mulai terlihat, dengan 67% penjual menyatakan kepuasan terhadap fitur AI Lazada. Fitur Generative AI (GenAI) baru seperti AI Smart Product Optimisation (untuk perbaikan konten), AI-Powered Translations (untuk menerjemahkan konten), dan Lazzie Seller (asisten khusus penjual) kini hadir agar era Agentic Commerce bukan hanya milik perusahaan besar, tetapi dapat dinikmati oleh seluruh ekosistem perdagangan digital.

Masa depan belanja online cerdas dan terpercaya

Pada akhirnya, pergeseran menuju Agentic Commerce bukan sekadar adopsi teknologi baru. Zaman bergerak meninggalkan era di mana konsumen harus bekerja keras memilah informasi, menuju era di mana teknologi bekerja proaktif melayani kebutuhan manusia.

Salah satu tantangan terbesar di masa depan adalah seberapa besar rasa aman dapat ditanamkan. Fenomena keraguan konsumen pada AI serta kegamangan penjual meninggalkan cara lama, menegaskan jargon high tech tak cukup tanpa diimbangi high trust. Kecepatan dan efisiensi yang ditawarkan agen cerdas perlu berjalan beriringan dengan jaminan keamanan dan transparansi.

Langkah Lazada memadukan kurasi melalui LazMall sebagai benteng kepercayaan dan pengerahan 'pasukan' agen AI untuk efisiensi, menawarkan cetak biru menarik bagi ekosistem e-commerce. Masa depan belanja online sepertinya tentang kolaborasi, di mana AI menangani kompleksitas data dan logistik, sementara manusia, baik penjual maupun pembeli, punya keleluasaan untuk fokus pada nilai, kreativitas, dan pengambilan keputusan strategis.

Bagi Indonesia yang di ambang ledakan ekonomi digital, kesiapan merangkul era Agentic Commerce ini sangat krusial. Dengan menjembatani kesenjangan adopsi teknologi melalui edukasi dan alat yang mudah diakses, pasar Indonesia tak hanya akan menjadi konsumen teknologi, tetapi juga pemain kunci yang tangguh.




(fyk/fyk)
Berita Terkait