2025 Tahun Implementasi Penuh Open Banking: Apa yang Harus Disiapkan Bank?
Hide Ads

Kolom Telematika

2025 Tahun Implementasi Penuh Open Banking: Apa yang Harus Disiapkan Bank?

Arwinto P Nugroho - detikInet
Jumat, 25 Jul 2025 21:32 WIB
Arwinto P Nugroho, Country Head PingCAP Indonesia
Arwinto P Nugroho, Country Head PingCAP Indonesia. (Foto: dok Pribadi)
Jakarta -

Laporan e-Conomy SEA 2024 mencatat bahwa ekonomi digital Indonesia telah mencapai nilai USD 90 miliar pada tahun 2024 dan diproyeksikan akan tumbuh signifikan hingga USD 200 miliar pada tahun 2030 . Salah satu pendorong utama pertumbuhan ekonomi ini adalah meningkatnya volume transaksi pembayaran digital, yang mencerminkan semakin berkembangnya ekosistem pembayaran di Indonesia. Namun, banyak sistem perbankan lama (legacy banking system) masih belum memiliki fleksibilitas dan konektivitas yang memadai untuk mendukung pengalaman digital yang lancar, sehingga infrastruktur tradisional justru menjadi kendala.

Seiring dengan meningkatnya ekspektasi pelanggan terhadap layanan yang lebih terintegrasi dan instan, open banking hadir sebagai solusi dengan memungkinkan pertukaran data antar platform secara aman. Hal ini memungkinkan pelanggan untuk bertransaksi dengan lebih mudah tanpa harus berpindah-pindah aplikasi yang tidak saling terhubung. Open banking pun memainkan peran penting dalam transformasi ini dengan menghadirkan pengalaman bagi nasabah untuk bertransaksi digital yang lebih praktis dan efisien.

Open banking diidentifikasi sebagai salah satu tren teknologi utama dalam industri perbankan pada tahun 2025, sebagaimana yang dicatat oleh PERBANAS dalam laporan Tech-Banking Trend in 2025. Hal tersebut juga sejalan dengan visi Bank Indonesia untuk membangun ekosistem pembayaran yang lebih efisien dan inklusif. Open banking pertama kali diperkenalkan dalam Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) pada tahun 2019 oleh Bank Indonesia, yang kemudian diperkuat dengan kebijakan penetapan standar Open API Pembayaran yang diterbitkan pada 16 Agustus 2021. Fase adopsi awal dimulai pada tahun 2022 dengan 16 bank/lembaga keuangan yang tergabung dalam sub-working group, dan diharapkan seluruh bank telah mengadopsinya secara penuh pada tahun 2025.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bank Dunia mendefinisikan open banking sebagai praktik berbagi data konsumen antara bank dan lembaga keuangan lainnya (sebagai pemegang data) berdasarkan persetujuan dari nasabah dengan penyedia layanan keuangan lainnya atau pihak ketiga, seperti perusahaan fintech.

Hingga pertengahan tahun 2021, implementasi open banking secara global umumnya terbagi dalam dua pendekatan utama: regulator-driven dan market-driven. Bersama dengan Malaysia dan Filipina, Indonesia termasuk dalam kategori regulator-driven. Kini, kolaborasi antara bank tradisional dan penyedia layanan pihak ketiga (TPP) semakin menguat, menandai pergeseran menuju gelombang inovasi berbasis pasar, seperti pembayaran real-time, embedded finance, dan solusi kredit yang lebih inklusif.

ADVERTISEMENT

Berdasarkan BSPI 2025, keterbukaan data dalam open banking melibatkan bank sebagai pengendali data dan perusahaan fintech sebagai pengguna data. Melalui open banking, penyedia layanan pihak ketiga dapat bekerja sama dengan bank untuk memanfaatkan fungsi inti perbankan, seperti pembukaan rekening mereka sendiri sehingga mempercepat pertumbuhan transaksi digital. Kolaborasi antara kedua entitas ini dapat dilakukan secara langsung atau melalui penyedia platform Open API sebagai enabler.

Application Programming Interface (API) adalah seperangkat definisi dan protokol untuk membangun dan mengintegrasikan perangkat lunak aplikasi yang memfasilitasi pengelolaan dan pertukaran data dalam volume besar (big data). Dalam ekosistem digital, API berperan sebagai jembatan yang menghubungkan aplikasi frontend dengan backend. Sederhananya, API bertugas memberikan instruksi untuk mengambil data dari database.

Hambatan & Peluang

Hingga saat ini, berbagai hambatan masih ditemukan pada aspek regulasi, teknis, bisnis, maupun sosial. Dari sisi teknis, beberapa tantangan tersebut mencakup mekanisme aliran data (seperti batas waktu penyimpanan data dan konektivitas data), pengelolaan persetujuan konsumen yang muncul akibat kekhawatiran nasabah terhadap keamanan data pribadi mereka saat diakses oleh pihak ketiga, serta standarisasi interoperabilitas API yang masih terus diupayakan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), serta kualitas infrastruktur digital yang belum merata .

Dalam implementasinya, open banking juga memerlukan kesiapan dari segi infrastruktur dan sumber daya manusia, khususnya dalam pengelolaan dan pemanfaatan data. Dari sisi pengguna, kualitas infrastruktur digital yang belum merata di seluruh Indonesia, khususnya di daerah pedesaan, masih menjadi hambatan dalam adopsi open banking secara luas, mengingat belum semua wilayah memiliki jaringan komunikasi dan teknologi yang memadai.

Sementara dari sisi penyedia layanan, bank dan lembaga keuangan dituntut untuk melakukan investasi besar dalam infrastruktur TI, keamanan, serta pengembangan talenta. Alhasil, kesiapan organisasi untuk mengadopsi dan mengelola open banking secara efektif masih menjadi tantangan besar. Semakin banyak data yang dikumpulkan, semakin besar pula volume data yang harus diproses.

Sebagai pengendali data, lembaga keuangan dapat memanfaatkan database nasabah mereka untuk meningkatkan penawaran produk dan pengalaman pelanggan melalui integrasi yang lebih luas dengan pihak ketiga. Selain itu, mereka juga dapat berpeluang menciptakan sumber pendapatan tambahan dengan menghubungkan data akun nasabah ke berbagai layanan lainnya.

Infrastruktur Data Modern yang akan Menunjang Open Banking

Untuk mendukung inovasi ini, diperlukan sistem basis data yang berperforma tinggi, skalabel, dan konsisten yang dapat diakses oleh API untuk memastikan bahwa data yang diberikan kepada pihak ketiga selalu akurat dan tersedia. Database tradisional yang bersifat vertikal (vertically-scaled) akan kesulitan untuk meningkatkan kapasitasnya secara cepat tanpa mengalami downtime, sehingga tidak mampu memenuhi permintaan yang terus meningkat.

Di sinilah solusi database modern seperti distributed database memainkan peran penting, bahkan dapat melampaui kinerja basis data tradisional secara signifikan. Distributed database mereplikasi data ke berbagai node atau lokasi. Dengan begitu, jika satu node atau pusat data mengalami gangguan, layanan tetap dapat berjalan tanpa downtime, sehingga transaksi dan akses data bagi nasabah maupun mitra open banking pun tetap berjalan tanpa gangguan.

Dengan sistem ini, bank dapat melakukan scaling dengan menambahkan node baru, alih-alih meningkatkan kapasitas pada satu server saja. Pendekatan ini memungkinkan mereka untuk menangani lonjakan trafik API open banking, terutama pada periode puncak dengan permintaan data dari fintech atau aplikasi pihak ketiga yang dapat meningkat secara signifikan.

Data juga dapat ditempatkan lebih dekat dengan pengguna atau mitra di berbagai wilayah, sehingga memungkinkan transaksi dan pertukaran data open banking yang lebih cepat dan efisien. Hal ini mendukung layanan lintas cabang, negara, maupun zona waktu. Setiap cabang atau unit bisnis juga dapat memiliki replika data lokal, sehingga transaksi dapat diproses secara langsung di lokasi tanpa bergantung pada server pusat. Dengan demikian, bank dapat mengurangi biaya komunikasi dengan mempercepat pemrosesan transaksi, sekaligus mengatasi tantangan mekanisme aliran data.

Lebih lanjut, distributed database dengan kapabilitas Hybrid Transactional and Analytical Processing (HTAP) memungkinkan bank untuk melakukan analisis data secara real-time dan menjalankan machine learning langsung pada data transaksi. Contohnya, untuk deteksi fraud atau layanan open banking yang dipersonalisasi. Jika database tradisional memisahkan proses OLTP dan OLAP, database modern mampu menangani keduanya secara bersamaan sehingga biaya operasional dan pemeliharaan TI dapat ditekan secara signifikan.

Yang tak kalah penting, arsitektur sistem terdistribusi juga memungkinkan bank untuk mematuhi regulasi data penduduk (data residency) dengan menyimpan data di negara atau wilayah tertentu sesuai ketentuan hukum tanpa kehilangan integrasi secara global. Data sensitif juga dapat dikelola dengan lebih aman melalui fitur seperti enkripsi dan kontrol akses yang detail (granular access control).

Hal ini menjadi sangat krusial karena data harus dibagikan melalui API, seperti dalam kasus open banking. Pendekatan ini membantu bank untuk mengatasi tantangan dalam pengelolaan persetujuan konsumen (consumer consent management), sekaligus menjaga kepercayaan nasabah dan tetap kompetitif di pasar yang semakin ketat sebelum pada akhirnya kita bergerak menuju tren berikutnya: Open Finance.

*Arwinto P Nugroho adalah Country Head PingCAP Indonesia dengan 20 tahun pengalaman di bidang penjualan teknologi perusahaan. Sebelum bergabung dengan PingCAP, Arwinto memegang peran kepemimpinan kunci di Microsoft, Oracle, IBM, Dell, Nokia Siemens Networks, dan Hewlett-Packard.

Halaman 3 dari 3


Simak Video "Video: Google Prediksi Ekonomi Digital RI Capai USD 90 M Tahun Ini"
[Gambas:Video 20detik]
(fay/fyk)