Belakangan ini perusahaan raksasa global ramai-ramai mengucurkan dana segar ke perusahaan teknologi atau e-commerce Indonesia. Misalnya Tokopedia yang belum lama ini mendapat pendanaan dari Google dan Temasek.
Padahal pada saat yang sama, ekonomi Indonesia sedang lesu dan bahkan masuk ke jurang resesi. Resesi didefinisikan sebagai kontraksi dalam dua kuartal berturut-turut yang menyebabkan penurunan signifikan dalam aktivitas ekonomi.
Resesi juga berdampak ke banyak hal, seperti yang paling sering diberitakan yaitu pengurangan gaji hingga banyak orang kehilangan pekerjaan. Salah satu cara yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam mengantisipasi dampak negatif dari resesi ialah dengan penanam modal asing.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
E-commerce Indonesia menjadi satu dari beberapa sektor yang banyak dilirik investor. Pasalnya banyak analisis dan studi yang memprediksi Indonesia akan menjadi pemain e-commerce terbesar di Asia Tenggara beberapa tahun kemudian yang memiliki potensi pasar digital yang besar.
Pandemi yang berdampak buruk terhadap kesehatan dan ekonomi, ternyata juga memiliki dampak yang positif terkait akselerasi digitalisasi semua sektor di Indonesia. CEO & Co-Founder Tokopedia, William Tanuwijaya saat mengumumkan masuknya Google dan Temasek bahkan menyebut kalau pandemi melahirkan generasi transformasi.
Dalam unggahan Instagram-nya, ia menyebut dalam setiap tantangan dan krisis yang dihadapi bangsa Indonesia, lahir generasi-generasi penentu yang paling diingat oleh sejarah. Dari pandemi ini, kita menyaksikan kelahiran generasi transformasi.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira menyebut industri e-commerce dan fintech Indonesia menunjukkan pertumbuhan paling menjanjikan dibandingkan dengan sektor ekonomi digital lainnya, bahkan di tengah pandemi.
"Platform e-commerce menyediakan kebutuhan pokok masyarakat, termasuk makanan dan minuman. Alih-alih berisiko tertular virus Corona saat membeli bahan makanan di luar, konsumen lebih memilih mendapatkan kebutuhan mereka melalui e-commerce," ujarnya.
"Selain itu, platform e-commerce adalah yang paling terintegrasi dibandingkan dengan pemain lain di lanskap ekonomi digital. Misalnya, Tokopedia sudah mengintegrasikan OVO ke dalam sistem pembayaran online-nya, sedangkan platform e-commerce lain juga menggunakan GoSend untuk mengirimkan barang ke konsumennya," sambungnya.
Di luar ranah e-commerce dan fintech, cukup mengherankan bahwa platform perjalanan online di Indonesia masih tetap menggiurkan di kalangan investor asing. Misalnya, pada Juli 2020, Traveloka mendapat suntikan modal senilai US$ 250 juta yang dipimpin oleh 'lembaga keuangan global' yang dirahasiakan serta investor lama, termasuk East Ventures.
Seperti dikutip dari Reuters, Traveloka mengungkapkan bahwa suntikan modal berusaha untuk membantu perusahaan meningkatkan operasinya di tengah krisis virus Corona dan ketika perjalanan domestik mulai meningkat di wilayah berpenduduk 650 juta orang.
Tentu saja, akan ada banyak orang yang skeptis di luar sana yang menganggap perusahaan lokal yang menerima investasi asing 'kurang nasionalis', bahwa modal asing adalah lambang pengambilalihan Indonesia oleh negara asing. Padahal selain baik bagi perekonomian Indonesia, modal asing juga dapat berdampak positif bagi kesejahteraan masyarakat.
Bhima mengatakan pemerintah masih memiliki beberapa pekerjaan yang harus dilakukan untuk membuat sektor e-commerce dan fintech Indonesia terlihat lebih menarik bagi investor asing.
"Pertama-tama, pemerintah masih perlu menyederhanakan regulasi ekonomi digital, khususnya fintech. Kedua, SDM ekonomi digital lokal masih membutuhkan pelatihan dan program pendidikan tambahan untuk meningkatkan keterampilan mereka. Ketiga, DPR harus segera mengesahkan RUU perlindungan data pribadi, "ujarnya.
Terakhir, dia mengatakan pembuat kebijakan harus mewajibkan pemberi pinjaman milik negara untuk meminjamkan modal awal kepada startup digital.
Sementara itu, Direktur Program Pascasarjana Sekolah Bisnis dan Ekonomi Prasetiya Mulya Indria Handoko misalnya mengatakan kolaborasi dengan perusahaan multinasional global bisa membantu perusahaan memperoleh praktik bisnis terbaik dari berbagai negara sehingga bisa diterapkan di perusahaan sendiri.
Untuk mengembangkan usahanya ke luar negeri, masyarakat Indonesia harus mempersiapkan diri dengan memiliki hard skill dan soft skill untuk menjadi pelaku bisnis global. Kemampuan berinteraksi dengan orang-orang dari latar belakang budaya yang berbeda, yang memiliki nilai dan perilaku berbeda, namun berakar kuat pada pengetahuan tentang cara berbisnis orang Indonesia sendiri adalah salah satunya.
Dia menambahkan bahwa pengetahuan komprehensif tentang cara-cara spesifik saat bisnis dilakukan di berbagai negara merupakan persyaratan penting lainnya. Modal asing juga dapat meningkatkan kapasitas perekrutan perusahaan lokal, sehingga menyerap lebih banyak pekerja dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
(prf/fay)