Kunci Sukses e-Money di Indonesia: Kolaborasi dan Insentif!
Hide Ads

Kunci Sukses e-Money di Indonesia: Kolaborasi dan Insentif!

- detikInet
Kamis, 21 Nov 2013 18:25 WIB
Diskusi e-Money (rou/detikINET)
Jakarta - Tanpa adanya kolaborasi antara industri telekomunikasi dan perbankan, serta dukungan insentif dari pemerintah, tren e-money akan sulit diadopsi oleh seluruh lapisan masyarakat hingga ke pelosok Indonesia.

Demikian hasil diskusi interaktif antar para pemangku kepentingan di industri dalam acara 'New Wave of Less Cash Society: Indonesian Chapter' yang digelar IndoTelko Forum, di Balai Kartini, Jakarta, Kamis (21/11/2013),

Seperti diketahui, transaksi pembayaran menggunakan uang elektronik mulai tumbuh di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Namun sayangnya, penerapan less cash society ini ternyata masih rendah karena belum melayani semua lapisan masyarakat.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Alex Janangkih Sinaga, Ketua Umum Asosiasi Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI), ada banyak alasan kenapa adopsi e-money di negeri ini tak secepat di negara lain.

Di Indonesia, antara industri telekomunikasi dan perbankan seperti jalan sendiri-sendiri. Masing-masing mengeluarkan produk e-money. Padahal, kalau dua kekuatan industri ini disatukan, hasilnya akan lebih baik.

"Ada dua isu besar saat ini, financial inclusion dan less cash society. Harus ada collaborative approach antara industri telekomunikasi dan perbankan. Maju bersama dengan win-win solution," kata Alex yang juga Direktur Utama Telkomsel.

Melihat kondisi saat ini, ATSI menilai operator punya peran signifikan untuk ikut membantu menyediakan layanan finansial berbasis elektronik kepada masyarakat yang belum tersentuh bank sama sekali.

Dipaparkan olehnya, dari total populasi 245 juta penduduk di Indonesia, ada sekitar 165 juta masyarakat yang bisa disasar perbankan. Namun sayangnya, yang baru tergarap oleh bank baru sekitar 79 juta, sisanya 86 juta masih belum tersentuh sama sekali.

"Sementara industri telekomunikasi saat ini sudah menyasar 190 juta penduduk. Dari sisi geografis layanan, bank jika dibandingkan dengan operator jelas masih jauh coverage layanannya," kata dia.

Di setiap 1.000 km2, bank hanya memiliki rata-rata 7,71 cabang, 12,39 ATM, dari total 30 ribu cabang dan 55 ribu ATM yang ada di Indonesia. Dan bank juga baru melayani masyarakat segmen menengah dan atas saja.

Sementara di rentang coverage yang sama, operator telekomunikasi telah membangun 61 ribu terminal yang artinya sekitar 95% coverage dari total 400 ribu titik reseller. Sementara operator melayani hampir seluruh segmen, mulai dari low, middle, sampai high level market.

"Dari sisi penetrasi pasar, bank baru menyasar 40% populasi penduduk yang bisa digarap. Sementara telekomunikasi sudah melayani seluruh segmen pasar di Indonesia, bahkan penetrasinya sudah 118%," ujar Alex lebih lanjut.

Selain kolaborasi antara industri telekomunikasi dan perbankan, Alex juga menilai sangat perlunya dukungan insentif atau subsidi dari pemerintah untuk menyukseskan gerakan e-money ini.

"Selama ini, e-money itu biayanya ditanggung oleh penerbit untuk mengakuisisi merchant--karena mereka tidak boleh menyimpan uang, padahal cost itu bisa dialihkan ke upaya-upaya lain. Biaya untuk akuisisi e-money ini seharusnya bisa ditanggung oleh negara," paparnya

"Negara kan mengeluarkan banyak uang sampai triliunan rupiah untuk mencetak uang konvensional, kalau biayanya dijadikan insentif untuk mengembangkan e-money, manfaatnya akan jauh lebih besar," jelas Alex lebih lanjut.

Kolaborasi

Pendapat senada soal perlunya kolaborasi industri juga diamini oleh Indra Utoyo, Direktur Inovasi dan Strategic Portofolio Telkom. Menurutnya, gabungan kekuatan antara industri perbankan dan telekomunikasi, akan mewujudkan kekuatan yang besar.

Dipaparkan olehnya, bank punya banyak kelebihan dalam urusan pengelolaan keuangan, compliance, dan image yang lebih dipercaya untuk transaksi finansial, baik di dalam maupun luar negeri. Namun sayangnya, jangkauan layanannya masih terbatas karena belum seekspansif industri telekomunikasi.

Selain jangkauan luas dan efisiensi biaya yang lebih baik, serta jalur distribusi yang lebih luas, telekomunikasi punya kelebihan lain dalam hal penetrasi pasar dan interkoneksi antaroperator.

Sayangnya, kata Indra, brand telekomunikasi belum sekuat bank dalam urusan transaksi keuangan. Kekurangan dan kelebihan bisa dipadukan. Ada sinergi yang bisa dimanfaatkan, misalnya bank punya ratusan kantor cabang sementara telekomunikasi bisa menjangkau sampai pelosok.

"Selain perlunya kolaborasi dan insentif, keberhasilan less cash society ini juga harus didukung oleh regulasi, bisnis model, distribusi network, dan tentunya edukasi pelanggan," tegas Indra yang juga Ketua Umum Masyarakat Industri Kreatif Teknologi Informasi (MIKTI).

Harus Menarik

Selain topik di atas, sukses tidaknya adopsi e-money di Indonesia, Menurut Daniel Tumiwa, Ketua Umum Indonesia e-Commerce Association (IdEA), akan banyak tergantung dari sisi manfaat penggunaannya.

"Orang tidak akan menggunakan e-money kalau tidak ada the need of use (kebutuhan)-nya. Itu sebabnya, e-money saat ini masih terbatas penggunaannya," kata Daniel yang juga Vice President e-Commerce Garuda Indonesia.

Menggeluti dunia e-commerce sejak lama, dan kini mengurusi e-commerce untuk maskapai penerbangan Garuda, membuat mantan bos Multiply Indonesia ini kenyang pengalaman soal e-money.

"Di airline, e-money ini sangat menarik karena semuanya always connected. Tapi dari pengalaman saya, yang paling banyak menggunakan e-money justru datang dari industri gaming dan industri musik. Industri ini yang sudah masuk ke less cash society karena industrinya digital, bayarnya juga digital," jelasnya lebih lanjut.

Berangkat dari situ, ia melihat e-money ini akan lekat dengan industri maupun segmen pasar yang berhubungan erat dengan konteks hiburan dan kesenangan. Di Garuda pun, momentum ini coba dimanfaatkan untuk menggenjot e-commerce. Mulai dari penjualan tiket pesawat hingga WiFi onboard.

Tren Masa Depan

Salah satu operator yang juga sangat serius untuk menggeluti less cash society ialah XL Axiata. Selain menghadirkan XL Tunai, operator ini juga bekerja sama dengan SK Planet dari Korea Selatan membentuk usaha patungan e-commerce Elevania dengan modal USD 40 juta.

Dian Siswarini, Chief Digital Services XL, meyakini e-money dan less cash society akan jadi tren masa depan. Tren ini telah tumbuh pesat di negara lain, namun di Indonesia baru mulai tumbuh--namun diyakini suatu saat akan populer meski memakan waktu lama.

"Di Amerika, penggunaan uang cash turun 4% per tahun. Di beberapa negara maju, misalnya di negara Skandinavia seperti Swedia, mereka targetkan 2030 sudah jadi negara less cash society. Kalau di Indonesia akan makan waktu lebih lama, tapi ke depan akan lebih populer," kata Dian yang juga Sekjen ATSI.

Agar bisa populer, menurutnya, less cash society ini harus menawarkan keamanan dan kenyamanan. Selain itu, kemudahan interoperabilitas dan interkoneksi antar penyedia layanan e-money juga harus menjadi suatu keniscayaan. Sehingga, pilihan pembayarannya makin luas dan tidak terbatas oleh tiap satu provider saja.

Momentum Bagus

Geliat e-money di Indonesia juga direspons positif oleh vendor solusi jaringan seperti Ericsson. Sam Saba, President Director Ericsson Indonesia, mengaku sangat mendukung langkah operator untuk terjun menangkap peluang bisnis e-money.

Dalam diskusi ini, Ericsson memaparkan sejumlah alasan mengapa operator harus bergegas memanfaatkan momentum gerakan less cash society ini berdasarkan pengalamannya ikut membantu membangun infrastruktur uang digital di beberapa negara.

Dari catatannya, saat ini ada 2,5 miliar warga dunia yang belum punya rekening bank. Sementara, di dunia ada 2,6 miliar pengguna prabayar. Ini jelas, jadi target ideal untuk operator dalam bisnis e-money lewat mobile wallet.

"Di 2017, kami mengestimasi jumlah transaksi antar pengguna ponsel di dunia akan mencapai USD 250 miliar. Ini menjadi gambaran betapa besarnya peluang bisnis ini, padahal itu baru person to person (P2P) saja, belum secara general (G2P)," papar Sam.

Ericsson melihat, tren di masa depan hampir semua perangkat akan terkoneksi. Di 2020, diperkirakan ada 50 miliar devices yang terhubung. Tak cuma antar manusia pengguna ponsel saja, namun juga antarperangkat dan mesin.

e-Money di Indonesia

Transaksi pembayaran menggunakan uang elektronik telah tumbuh signifikan di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Dengan e-money, transaksi jadi kian mudah tanpa perlu menggunakan uang tunai. Meski masih lebih banyak digunakan untuk transaksi micropayment, transaksi e-money telah menembus Rp 6,7 miliar per hari hingga akhir 2013 ini.

Bisa dilihat, angka ini tumbuh signifikan dari waktu ke waktu dalam lima tahun terakhir. Pada tahun 2009, transaksi e-money di Indonesia tercatat mencapai Rp 1,4 miliar per hari dengan jumlah transaksi 48 ribu kali dalam setahun. Di 2010, jumlah transaksi e-money terus naik menjadi 73 ribu kali dalam setahun dengan nilai transaksi Rp 1,9 miliar per hari.

Kemudian di 2011, transaksi terus meningkat jadi 112 ribu kali dengan nilai perputaran uang transaksi Rp 2,7 miliar per hari. Pada tahun 2012, e-money menjadi semakin tinggi lagi transaksinya. Tercatat, ada 219 ribu transaksi dalam setahun dengan nilai bisnis Rp 3,9 miliar per hari. Bisa dibilang setiap tahunnya sejak 2009 hingga 2013, transaksi e-money tumbuh 120% year on year. Sungguh peningkatan yang luar biasa.

Namun sayangnya, meski pertumbuhannya pesat, penerapan less cash society di Indonesia ini, seperti telah dibahas dalam diskusi interaktif tadi, ternyata masih terbatas di kalangan tertentu saja.

"Namun dengan hadirnya regulasi baru tentang e-money yang akan segera diterbitkan oleh Bank Indonesia, para pemain di industri telekomunikasi dan perbankan seharusnya bisa lebih mudah lagi untuk bersinergi menggenjot pertumbuhannya," kata Founder IndoTelko Forum, Doni Darwin.

Seperti diketahui, Bank Indonesia akan segera menerbitkan regulasi baru tentang e-money setelah menguji coba branchless banking di delapan provinsi bersama lima bank dan tiga operator telekomunikasi.

Pilot project yang bergulir sejak Mei dan berakhir November 2013 ini akan mendukung inklusi finansial dan less cash society. Regulasi ini akan diterbitkan Bank Indonesia pada akhir 2013 dan mulai diimplementasikan 2014 mendatang.

Proyek uji coba ini dikhususkan untuk layanan pembayaran dengan mengedepankan infrastruktur telekomunikasi yang sudah lebih dulu meraih pasar pengguna. Namun untuk penarikan dana tetap harus melalui agen perbankan yang ditunjuk dengan selektif dan ketat oleh pihak bank yang terlibat dalam proyek ini.

Bank Indonesia sendiri mencatat, jangkauan infrastruktur telekomunikasi saat ini telah mencapai angka 95% dan didukung 240 juta pengguna ponsel, serta dua juta agen retailer telekomunikasi. Sementara instrumen pembayaran berupa uang elektronik yang berbasis server, jumlahnya telah mencapai 12,5 juta. Sementara di sisi perbankan, diperkirakan 52% dari rumah tangga di Indonesia belum memiliki simpanan di lembaga keuangan.

Masyarakat pengguna ponsel umumnya antusias dengan hadirnya layanan uang digital alias e-money di Indonesia. Namun sayangnya, masih ada sejumlah kendala yang harus diselesaikan sebelum layanan ini benar-benar menjadi andalan transaksi keuangan. Demikian hasil survei e-money yang digelar oleh IndoTelko Forum terhadap 2.000 responden.

"Melihat hasil survei ini kami sarankan semua ekosistem yang terlibat di uang digital ini berjalan beriringan dan melepas sekat-sekat pembatas agar less cash society benar-benar terwujud," pungkas Darwin.


(rou/eno)

Berita Terkait