Dalam konteks TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi), penetrasi gadget yang begitu deras telah mengubah paradigma pendidikan menjadi technology-based. Namun, ke manakah sesungguhnya arah perubahan tersebut?
Perkembangan Manusia Bersama Gadget
Menurut Jean Piaget, bayi mulai mengembangkan sensor motorik mereka pada usia antara 0-2 tahun. Pada saat itu, bayi mulai belajar mengkordinasikan segenap organ tubuh, dalam rangka mengasosiasikannya dengan obyek eksternal.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di era sekarang ini, telah lahir generasi digital native, yang sudah sangat familiar terhadap TIK dari usia sangat dini. Walaupun tentunya masih dibatasi terhadap aplikasi pendidikan usia dini, namun sudah ada pada usia 1-2 tahun (toddlers) yang sudah sangat fasih dalam menggunakan gadget, terutama tablet.
Hal ini yang mengakibatkan bagaimana generasi digital mencerap informasi, dalam rangka proses belajar, sudah sangat berbeda dengan generasi pendahulu mereka.
Sebagai contoh, generasi digital sudah terbiasa mencari informasi pada Google dan Wikipedia untuk membantu menyelesaikan pekerjaan rumah mereka. Akan tetapi, ada satu tools yang berbeda dengan yang lain.
Tools ini dapat mendiseminasi informasi dalam jumlah sangat besar, bahkan membagikannya ke seluruh dunia dengan cepat. Tools ini adalah 'senjata pamungkas' bagi generasi digital untuk mendidik diri mereka sendiri. Ia adalah media sosial (medsos).
Medsos: Menurunkan atau Menambah Prestasi?
Secara psikologis, memang medsos seperti pisau bermata dua. Ia dapat meningkatkan dan menurunkan prestasi belajar, tergantung bagaimana pemakaiannya.
Bagi generasi digital, teori 'six degree of separation' yang melandasi perkembangan medsos, adalah jembatan mereka untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya dan dari siapa saja.
Hanya pertanyaannya, dengan 'ledakan' informasi yang begitu rupa, bagaimana pengaruhnya ke proses belajar mereka?
Jika kita membaca berita atau beberapa literatur, memang medsos memiliki potensi untuk menurunkan prestasi belajar. 'Ledakan' informasi, ternyata justru dapat mengakibatkan meningkatnya apatisme generasi digital, terutama dalam konteks prestasi belajar.
Penggunaan medsos yang tanpa kendali, akan mengakibatkan pembelajar melupakan tugas utama mereka di sekolah atau bangku kuliah, dan memilih memasuki dunia virtual tanpa batas.
Satu hal yang seyogyanya kita pahami, cyberspace tidak jauh berbeda dengan hutan belantara. Kita bisa menemui bunga yang indah, atau buah yang enak, namun juga bisa diterkam binatang buas.
Bisa kita istilahkan, hiper-realitas akan lahir, dimana kesadaran dari pembelajar tersebut 'terhisap' dan menghilang dalam pusaran limbo cyberspace, yang dimotori oleh Medsos.
Hiper-realitas akan mengakhiri konsep diri siswa akan berprestasi baik, sebab perbedaan dunia nyata dan maya akan kabur secara total.
Jika membayangkan medsos, baik itu Twitter, Facebook, Google+, dan lainnya sebagai limbo cyberspace, memang hal tersebut dapat menjadikan kita skeptis terhadap perkembangan TIK.
Namun, satu hal yang seyogyanya kita pegang, adalah premis 'teknologi tidak pernah bebas nilai'. Apakah maksudnya? Di sini pendidikan memegang peran penting dalam membekali siswa terhadap 'limbo tanpa batas' tersebut.
Pembekalan tersebut tidak mungkin berupa Great Firewall seperti milik RRC, sebab sensor seperti itu pada akhirnya akan bisa diakali juga. Pelonggaran sensor seperti yang dilakukan negara-negara barat juga tidaklah ideal, sebab terkadang perversi seperti Child pornography yang walaupun dilarang, juga dapat terjadi.
Di sini peran orangtua dan guru sangatlah penting untuk mendidik siswa menghadap dunia tanpa batas tersebut. Bagaimana cara mendidik mereka? Salah satu yang penting adalah mendidik anak untuk jujur.
Jika anak sudah didik jujur dari awal, maka mereka akan dapat melaporkan ketidaknyamanan yang mereka alami terhadap orang tua dan guru. Salah satu faktor pendukung disini adalah pendidikan agama dan moral yang baik.
Kemudian yang tak kalah penting, orangtua dan guru harus memberi teladan yang powerful terhadap siswa. Jika orang tua dan guru memang berperilaku baik, jujur, dan terus terang, maka otomatis siswa juga akan menirunya.
Teladan tersebut akan semakin kuat diterima siswa, jika guru juga menguasai medsos dan segala fiturnya.
Diseminasi Informasi Pendidikan via Medsos
Terlepas sisi kompleksitas yang kita sajikan di atas, ternyata medsos juga berguna dalam proses belajar-mengajar itu sendiri. Fitur notes pada Facebook, misalnya, dapat digunakan untuk sharing catatan kuliah.
Sementara itu, kuliah tweet (kultwit) pada Twitter dapat digunakan untuk menjadi pointer terhadap perkuliahan atau pengajaran itu sendiri.
Telah banyak sekali organisasi siswa dan himpunan mahasiswa yang telah memiliki akun Facebook dan Twitter, dan melalui media tersebut, para konstituennya dapat saling berbagai informasi yang terkait akan sekolah atau kuliah mereka.
Seyogyanya, orang tua dan guru mengarahkan siswa atau anak mereka supaya menggunakan medsos ke arah ini. Walau pada akhirnya informasi negatif di medsos dapat saja sampai ke siswa, namun 'pengkondisian operan' yang konsisten terhadap fitur positif medsos akan menyebabkan mereka dapat memfilter informasi apapun secara mandiri.
![]() | Tentang Penulis: Dr.rer.nat Arli Aditya Parikesit adalah alumni program Phd Bioinformatika dari Universitas Leipzig, Jerman; Peneliti di Departemen Kimia UI; Dosen di STAI Al-Hikmah Cilandak; Managing Editor Netsains.com; dan mantan Koordinator Media/Publikasi PCI NU Jerman. Ia bisa dihubungi melalui akun @arli_par di twitter, https://www.facebook.com/arli.parikesit di facebook, dan www.gplus.to/arli di google+. |