Demikian imbauan yang disampaikan oleh perwakilan dari Mastel, Kadin Telematika, APJII, APMI, Apkomindo, APW Komitel, ID-WiBB, AOSI, IDTUG, dan PANDI, dalam pernyataan bersama di Graha MIK, Jakarta, Selasa (24/1/2012).
"Kami mengimbau kepada Kejaksaan Agung agar kasus IM2 diteliti dan dikaji ulang dengan mempertimbangkan seluruh perundangan dan peraturan yang berlaku," kata Ketua Umum Mastel, Setyanto P Santosa, dalam pernyataannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Berdasarkan pengamatan kami, penyelenggaraan broadband 2,1 GHz oleh Indosat dan IM2 telah sesuai dengan prinsip-prinsip dan ketentuan perundangan yang berlaku," kata Setyanto lagi.
"Selain itu penyelenggara jaringan telekomunikasi yang mendapatkan hak untuk menggunakan frekuensi diyakini telah membayar seluruh kewajiban antara lain biaya up front fee dan biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi setiap tahun, sehingga tidak terdapat kerugian negara," tambah Ketua Kadin Bidang Telematika Sylvia Sumarlin.
Seperti diberitakan sebelumnya, Kejaksaan Agung akhirnya meningkatkan status kasus penyalahgunaan jaringan frekuensi 2,1 Ghz/3G milik Indosat ke penyidikan.
Lembaga yudikatif ini telah menerbitkan Surat Perintah Penyidikan No.PRINT-04/F.2/Fd.1/01/2012 tanggal 18 Januari 2012. Dalam surat perintah penyidikan itu disebutkan pula tersangka kasus penyalahgunaan jaringan frekuensi 2,1 Ghz milik Indosat berinisial IA.
IA diduga melakukan penyalahgunaan jaringan bergerak seluler frekuensi 2,1 Ghz/3G milik Indosat yang diakui sebagai produk IM2. Padahal, IM2 tidak pernah mengikuti seleksi pelelangan pita jaringan bergerak seluler frekuensi 2,1 Ghz/3G.
IM2 menyelenggarakan jaringan itu melalui kerja sama yang dibuat antara Indosat dengan IM2. IM2 sendiri adalah anak perusahaan dari Indosat.
Dengan demikian, menurut Kejagung, tanpa izin pemerintah, IM2 telah menyelenggarakan jasa telekomunikasi jaringan bergerak seluler frekuensi 3G.
Akibat penyalahgunaan ini, negara katanya dirugikan sekitar Rp 3,8 triliun sejak 24 Oktober 2006. Untuk itu, IA dikenakan sejumlah pasal tindak pidana korupsi, yakni Pasal 2 dan/atau Pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kasus ini bermula ketika LSM Konsumen Telekomunikasi Indonesia (KTI) melaporkan dugaan penyalahgunaan jaringan bergerak seluler frekuensi 2,1 GHz/3G yang dilakukan Indosat dan IM2 ke Kejati Jawa Barat. Namun, karena locus delicti-nya tidak hanya di Jawa Barat, penyelidikan kasus ini diambil alih oleh Kejagung.
Laporan dari LSM-KTI pun dipertanyakan oleh perwakilan dari 10 asosiasi ini. Mereka pun mengusulkan agar Kejagung memanggil pihak pelapor untuk memastikan bahwa laporan yang disampaikan adalah benar dan berdasar.
"Jika diperlukan dapat dilakukan diskusi dengan seluruh pemangku kepentingan tanpa adanya suatu prejudice," usul Sylvia.
10 asosiasi ini juga menyarankan agar pihak Kejagung memperhatikan dan mempertimbangkan penjelasan, keterangan, dan kesaksian yang telah diberikan oleh berbagai pihak yang secara resmi telah memenuhi permintaan atau panggilan dari Kejagung.
Sejauh ini pihak-pihak yang telah dimintai keterangan adalah pihak dari Kementerian Kominfo dan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI)--baik anggota yang masih aktif maupun yang pernah menjabat sebelumnya.
(rou/eno)