"Ternyata ada yang menakutkan isinya," komentar Ketua Harian Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS) M Ridlo Eisy saat dihubungi detikcom, Kamis (3/4/2008).
Pemimpin Umum 'Galamedia' itu mengaku, awalnya hanya memperhatikan sisi 'transaksi elektronik' yang diatur UU baru itu. Ridlo luput mempelajari sisi 'informasi'-nya yang belakangan diketahui sangat menakutkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"UU ITE ini menunjukkan tanda-tanda menguatnya kembali peran negara dalam melakukan kontrol, pengendalian kebebasan pers," kata Heru kepada detikcom.
"Kita terkaget-kaget karena kita fokus ke UU Pemilu, tiba-tiba menyelonong UU ITE begitu saja," imbuh Heru yang bekerja di Kantor Berita Radio 68H itu.
Lontaran senada juga muncul dari Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Tarman Azzam saat dihubungi detikcom melalui telepon. Tarman sebelumnya berpikir UU ITE itu hanya membahas transaksi elektronik, tak menyangkut pers sama sekali.
"(Pers) nggak dilibatkan karena kita tidak memikirkan informatika. Mereka (pemerintah) banyak kerja diam-diam (dalam perumusan RUU ITE)," kata Tarman.
Tarman mengaku kaget setelah membaca selintas beberapa pasal krusial yang mengancam pers. Tarman pun meminta rekan-rekan wartawan harus bekerja lebih hati-hati setelah UU ITE diundang-undangkan.
"Tapi kita menginginkan aturan itu seperti itu tidak ada. Apalah namanya, harus ada semacam pengecualian bagi pers," ujarnya.
Jika pemilik perusahaan pers dan pekerjanya tidak dilibatkan dalam perumusan UU ITE, bagaimana dengan Dewan Pers? Ternyata setali tiga uang. Dewan Pers yang merupakan semacam lembaga ombudsman bagi orang-orang yang dirugikan dengan pemberitaan pers mengaku tak dilibatkan juga saat UU ITE dirumuskan pemerintah.
"Tidak ada satu pun dari kita di Dewan Pers yang dilibatkan. Kita kecewa yang sangat besar," kata anggota Dewan Pers Abdullah Alamudi.
Pro dan kontra? Sampaikan di detikINET Forum.
(aba/dwn)