BRIN: 1 Ramadan 12 Maret, Rukyat dan Hisab Bukan Penyebab Perbedaan

Rachmatunnisa - detikInet
Jumat, 08 Mar 2024 13:13 WIB
BRIN: 1 Ramadan Akan Jatuh 12 Maret, Rukyat dan Hisab Bukan Penyebab Perbedaan. Foto: BMKG
Jakarta -

Tanggal 1 Ramadan 1445 H diprakirakan jatuh pada 12 Maret jika 2024 mengacu pada kesepakatan kriteria Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS). Hal Ini disampaikan Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Antariksa Badan Riset dan Inovasi National (BRIN) Prof Dr Thomas Djamaluddin.

"Akhir bulan Sya'ban 1445 H atau 10 Maret 2024, tinggi Bulan di Indonesia kurang dari 1 derajat. Di Pulau Jawa, seperti Jakarta 1,7 derajat yang mana ini belum memenuhi kriteria MABIMS," kata Djamal saat berbicara tentang 'Kriteria Baru MABIMS dalam Penentuan Awal Ramadan' di Gedung BJ Habibie BRIN, Jakarta Pusat, Jumat (8/3/2024).

Berdasarkan hasil kesepakatan MABIMS tahun 2021, kriteria hilal berubah menjadi ketinggian hilal 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat. Kesepakatan ini ditandai dengan penandatanganan surat bersama ad referendum pada 2021 terkait penggunaan kriteria baru MABIMS di Indonesia mulai tahun 2022.

Dalam penentuan awal Ramadan, seringkali ada perbedaan di antara umat Islam. Untuk diketahui, dalam menentukan awal Ramadan selain menggunakan metode rukyatul Hilal (pengamatan), dilakukan juga metode hisab (perhitungan). Kedua metode ini kerap disebut sebagai penyebab perbedaan. Padahal, tidak sama sekali.

"Hisab dan rukyat digunakan dalam penentuan awal Ramadan. Ketika terjadi perbedaan kemudian, oh ini karena ada ormas yang menggunakan hisab ada ormas yang menggunakan rukyat, sesungguhnya tidak. Dalam astronomi, hisab dan rukyat sejalan atau setara sehingga bisa dipertemukan. Salah satunya tidak lebih umum dibandingkan yang lain," jelas Djamal.

Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Antariksa Badan Riset dan Inovasi National (BRIN) Prof. Dr. Thomas Djamaluddin. Foto: Rachmatunnisa

Lantas mengapa masih sering terjadi perbedaan? Disebutkan Prof Djamal, secara umum perbedaan tersebut disebabkan banyak faktor. Namun akar masalahnya adalah karena perbedaan kriteria. Menurutnya, ada tiga hal yang diperlukan untuk sistem kalender yang mapan.

"Kalender itu mensyaratkan tiga hal, apapun kalendernya, kalender Masehi, kalender Jawa, Hindu, dan lain-lain, mensyaratkan tiga hal supaya menjadi kalender yang mapan dan bisa disepakati bersama: ada kriteria tunggal yang disepakati, ada batas wilayah yang disepakati, ada otoritas tunggal yang mengaturnya," sebutnya.

Sudah Terbukti

Dalam kesempatan lain, Prof Djamal sudah sering menjelaskan melalui tulisan di blog pribadinya Dan di berbagai forum, bahwa hal ini sudah dibuktikan pada 1998. Bahwa, perbedaan yang terjadi di masyarakat Indonesia bukan karena hisab dan rukyat. Pada tahun itu, di Nahdlatul Ulama (NU) ada perbedaan sesama ahli rukyat ketika ketinggian bulan kurang dari satu derajat.

Di Pengurus Besar (PB) NU ada yang menolak kesaksian itu karena Bulan terlalu rendah. Tapi, di NU Jatim bisa diterima. Jadi, sesama ahli rukyat dalam memahami rukyat yang sama pun berbeda. Perbedaan itu memang terjadi karena persoalan mendefinisikan kriteria hilal.

Sesama ahli hisab di Muhammadiyah dan Persis pun sama. Mereka berbeda penetapannya karena kriteria. Muhammadiyah mendasarkan pada asal sudah berwujud atau ketinggian di atas nol derajat sudah bisa masuk awal Ramadan. Tapi, Persis, mendasarkan kriteria kemungkinan bisa dirukyat. Jadi, kalau belum terlihat, belum bisa dirukyat.

Maka, pada 1998, di kalangan NU pun terjadi perbedaan Lebaran. Begitu juga dengan Muhammadiyah berlebaran 29 Januari dan Persis 30 Januari. Di sisi lain, kasus 1998 menjadi contoh nyata bahwa permasalahan perbedaan awal puasa dan Idul Fitri bukan karena hisab dan rukyat, tapi kriteria. Ini menjadi titik terang untuk menyatukan perbedaan tersebut.

Ia menyebut pemerintah mengupayakan ada satu sistem tunggal sehingga keterbukaan semua pihak bisa membuat satu kalender yang mapan: ada otoritas tunggal, kriteria tunggal, dan batas tanggal yang disepakati.

Menurutnya, kriteria pada dasarnya sesuatu yang berdasarkan ijtihad dan bisa diangkat untuk mempersatukan. Dia berharap kriteria yang baru akan membuka jalan untuk mencapai penetapan kriteria tunggal tersebut yang akan dijadikan rujukan semua pihak dan mempersatukan umat.

"Jadi terkait dengan perbedaan yang terjadi, itu lebih disebabkan karena perbedaan kriteria dan perbedaan otoritas yang belum bisa disatukan. Tapi Kementerian Agama dan Majelis Ulama Indonesia itu terus mengupayakan adanya titik temu. Perbedaan kita hormati, tetapi upaya mencari titik temu kita teruskan," tutupnya.



Simak Video "Video: Cuaca Jadi Kendala Paling Sering Ditemui dalam Pengamatan Astronomi"

(rns/fay)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork