Sejak kecil, kita diajarkan untuk tidak bersikap layaknya hewan. Salah satunya karena kita dianugerahkan kecerdasan lebih daripada hewan.
Itu sama sekali tidak salah. Bukan hewan yang menemukan angka sehingga bisa berhitung dan membuat pengukuran pada sebuah fondasi bangunan. Bukan hewan yang membuat teleskop dan mengembangkan teknologi antariksa sehingga kita bisa pergi ke bulan.
Manusia memang jauh lebih cerdas dari hewan. Namun, bukan berarti hewan tidak memiliki kecerdasan.Hewan itu juga cerdas.
"Hewan dari berbagai spesies, terutama primata bukan manusia, sering kali mendapatkan nilai tinggi dalam tes IQ yang berorientasi pada tindakan," dilansir detikINET dari Scientific American, Sabtu (09/9/2023)
Kita lebih cerdas dari hewan, tapi anjing juga lebih cerdas dari kucing dan simpanse lebih cerdas dari panda. Lalu, apalagi hal penting yang membedakan manusia dengan hewan?
Berdasarkan buku Homo Sapiens karya Yuval Noah Harari, apa yang membedakan manusia dengan hewan adalah sesuatu yang memungkinkan manusia membentuk kelompok kerja sama besar demi sesuatu yang tidak ada.
Ini mungkin terdengar seperti omong kosong. Tapi sebenarnya, ini ada begitu dekat dengan kita. Kita mungkin mendewa-dewakannya atau bahkan menjadikannya mata pencaharian.
Apa yang membedakan manusia dengan hewan adalah fiksi. Maaf, maksudnya "Fiksi". Dan ini sudah terjadi sejak zaman primitif.
"Suku primitif mengikat tatanan sosial dengan mempercayai hantu dan arwah, dan berkumpul setiap purnama untuk menari bersama di sekeliling api. Yang gagal kita pahami adalah bahwa lembaga-lembaga modern kita berfungsi dengan dasar yang tepat sama," tulis Harari dalam bukunya.
Dua orang yang tidak saling kenal, mungkin dari ras dan suku yang berbeda, mau berjuang mati-matian bersama atas nama negara Indonesia. Dua pegawai yang belum pernah bertemu karena berasal dari unit bisnis yang berbeda, bisa bekerja sama hanya dengan satu jabatan tangan untuk memunculkan produk terbaik bagi perusahaan.
Negara dan perusahaan, sebutkan saja Tirena, adalah sesuatu yang sebenarnya tidak memiliki wujud. Mereka hanyalah sebuah nama rekaan yang dipercayai keberadaannya, alias fiksi.
Tirena hanyalah sebuah nama yang diresmikan secara hukum sebagai perusahaan yang bergerak di bidang tertentu. Dia tidak melekat pada siapapun dan apapun, termasuk pemiliknya dan CEO-nya.
Bila pemiliknya menjual keseluruhan sahamnya pada satu maupun banyak orang, maka kepemilikan itu beralih dan nama Tirena masih berdiri tegak. Bila suatu tindakan yang mengatasnamakan Tirena, entah apakah oleh pemiliknya ataupun karyawannya, adalah salah lalu dituntut ke meja peradilan, maka yang dituntut adalah Tirena.
Adapun hewan melakukan kerja sama melalui proses pendekatan yang lama. Itulah mengapa mereka jarang berhasil mengumpulkan ratusan hingga jutaan individu untuk berkoloni. Sekalinya bisa, tidak semudah mendaftarkan diri di perusahaan atau negara.
"Dua simpanse yang tidak pernah bertemu, tidak pernah bertarung, dan tidak pernah saling menelisik tidak akan pernah tahu apakah mereka bisa saling mempercayai, apakah ada manfaatnya saling membantu, dan yang mana di antara mereka yang lebih tinggi pangkatnya," ujar Harari.
Dulu menurut sejarah, manusia berada di rantai makanan yang sama dengan hewan. Menurut buku Homo Sapiens, makanan pokok manusia purba adalah sumsum tulang. Itu dikarenakan manusia yang hanya memiliki dua kaki tidak bisa berlari secepat rusa dan cakar serta gigi manusia tidak seruncing milik singa. Akhirnya, mereka hanya bisa memakan makanan sisa singa yang seringnya berupa tulang belulang saja.
Dulu, manusia masih terjebak pada ketidaktahuan atas potensi yang ada di dalam otak mereka. Sampai mereka membuat imajinasi, fiksi hadir untuk memutar roda kehidupan mereka dan setelahnya, manusia menguasai Bumi dengan segala kebaikan dan kekejamannya.
*Artikel ini ditulis oleh KhalishaFitri, peserta Program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
Simak Video "Video: Misteri Kerangka Manusia di Belakang Gedung DPRD Solok"
(fyk/afr)